By ; Irmayani |
MEMBUNGKUS RINDU
Bayanganmu dalam wujud nyata
Banyak
yang sudah berubah ketika peristiwa itu, aku yang tidak lagi perduli dengan
status kita, dan kamu yang selalu sibuk dengan duniamu. Itu biasa. Bahkan kita
tidak saling berusaha menanyakan kabar satu sama lain. Entah karena saling
merasa bahwa sekelebat rindu hanya intermezo kehidupan, sehingga ia tidak
penting untuk dibahas terlalu jauh. Atau mungkin memang keduanya saling
meniadakan rindu itu sendiri. Masing-masing membunuh dengan tega tiap kali sebuah
rasa yang dinamakan rindu itu tiba-tiba nyelonong masuk tanpa izin oleh pemilik
hatinya.
2
tahun silam, tepatnya ketika keduanya pernah saling mengabari lewat sosial
media apapun bentuknya. Tidak ada yang perlu di khawatirkan tentang hubungan
ini, keduanya tidak melanggar norma-norma yang ada hanya karena saling melepas
diri satu sama lain. tapi ada satu yang tidak pernah berhenti menanyakan
kabarnya. Tentang rasa yang sempat aku gantungkan padanya. Menerka-nerka apapun
jawabannya.
Tiba-tiba
saja cemburu. Cemburu pada tuts-tuts hitam Laptop yang tahu semua perasaannya,
cemburu pada layar nya yang tiada henti ia tatap ketika sedang menumpahkan
semua cerita imajinatifnya. Atau bahkan cemburu pada rol, jangka, kalkulator
yang selalu ia bawa kemana-mana, cemburu pada sketsa gambar dengan beberapa
coretan isihatinya. Cemburu pada bait-bait yang mengalir begitu saja terurai
ketika ia membuat cerita idaman yang ia ingin sekali menjadi peran utamanya.
Ah, apalah diriku. Untungnya saja aku tidak piawai menulis seperti dirinya.
Mendeskripsikan semua perasaanku lewat kata-kata. atau menggambar sketsa wajahnya
disampul belakang buku yang kupunya. tidak, untuknya aku tidak pernah
memposisikannya dibelakang. Lembar pertama, sebagai pembuka.
Apa
yang kubisa selain menahannya, menahan rindu itu agar tidak buru-buru pergi.
Tapi aku juga tidak bisa menyalahkan seutuhnya keberanian yang mudah menciut
kala bertatapan dengannya. Konon, ia mengulas senyum. Tentu hatiku akan candu. Apalah
arti kata yang hanya terdengar biasa untuk sapaan teman lama. “apa kabar?”.
Tidak ada hal yang istimewa diantara dua kata tersebut dengan bumbu kalimat
tanya dibelakangnya. Tapi ini jadi beda, karena dia yang melakukannya. Ku rasa
teman tak senaif ini. Senaif rindu yang aku bungkus rapat-rapat. Menatanya rapi
dipojok hati yang memang sudah kusediakan untuk namanya saja.
Siapalah
sosok “dia” yang memenuhi lembar-lembar kertas ini?. Jujur saja, tulisan ini
hanya “modus” belaka agar aku bisa menceritakan diagnosa tentang dirinya pada
kalian semua. Untuk apa? Entahlah, mungkin karena rindu ini kerap menghujam
hati dan logikaku. Menggali kenangan-kenangan dengannya. Kalian tak perlu
membayangkannya. Cukup dengarkan, kemudian kalian mengerti mengapa aku begitu memanjakan
hati dan logikaku untuk masalah sepele bernama, ah.. aku tidak pernah menyebut
ini cinta. Baiklah, kita sepakat bahwa ini hanya rindu yang tidak berkesudahan.
Sijelita yang kumaksud
“Syahdu...
apa kau pernah jatuh cinta?” wanita yang dipanggil Syahdu itu mengangguk
patah-patah. Ragu. Namun ia meng-iyakan juga akhirnya.
“bagaimanakah
rasanya?” ia menatap wanita berhijab Pink disampingnya sibuk memainkan air
laut.
“menyenangkan”
jawabnya singkat, diselingi senyum. Membicarakan cinta memang kerap membuatnya
malu-malu.
“semenyenangkan
apa?” kali ini ia menatap penuh yakin teman disebelahnya, karena yang ia tahu
wanita anggun berhijjab besar itu tidak pernah bercerita tentang kisah
cintanya.
“semenyenangkan
ketika kau bersama orang-orang yang teramat sangat kau sayangi” katanya mantap.
“tapi
hati manusia bisa kapan saja di bolak-balik oleh-Nya. Kecewa bisa kapan saja
datang bukan?” Zahra memungut ranting-ranting tembakau, yang sengaja ditinggal
oleh ombak.
“Itu
karena cinta kamu enggak disertai Cinta-Nya nona, naluriah manusia merasakan
sakit, sedih, bahagia, kecewa bukan? Atau kamu mau berhenti merasakannya? Hidup
hitam putih seperti tuts-tuts piano, setidaknya tuts-tuts piano lebih berwarna
karena setiap nadanya merangkai irama penuh cinta.” Syahdu memberi Jeda untuk
Zahra berkomentar, tapi ia tidak bergeming. Memilih menjadi pendengar yang
setia.
“cieee
kawan Syahdu lagi jatuh cinta..” Syahdu menggoda, Zahra tersenyum hambar, ada
yang salah dengan perasanya. Seperti ada pengharapan yang tidak berujung
kepastian.
“aku
bersedia menjadi pendengar yang baik untukmu Ra, tapi aku enggak janji bisa
kasih solusi terbaik.” Keduanya menatap laut lepas bersamaan, kornea mengarah
ke fokus yang sama. Hening, selalu ada jeda yang panjang diantara pembicaraan
mereka. Untuk kemudian keduanya tenggelam pada buaian nada yang tercipta antara
angin pantai dan ruas-ruas daun kelapa. Masing-masing membungkus ceritanya
untuk kembali membukanya disepertiga malam nanti. Merengek membujuk pada yang
Maha Bijaksana.
Langit
kemerah-merahan, mata Zahra menyapu desiran ombak dibibir pantai tempat mereka
pernah beradu pandang dari jarak yang jauh. Zahra lebih berani menyimpannya
sampai saat itu tiba, sampai Allah Ridha dan KUA mengakuinya.
Aku
tidak sedang bermajas, prosa-prosa yang menjuntai indah dilangit aksara, hanya
syair-syair bualan yang aku terka. Bukan fakta pula. hmmh, aku tak perlu
memberitahunya padamu. Untuk apa pula? Demi mendapat simpatimu kah? Atau
membuat dirimu bisa membuka sedikit saja cerita tentang kejadian yang kau
rasakan begitu indah, tentunya tanpa aku disana.
Bagaimanapula
aku bisa bahagia disini, jika yang menjadi penyebab dan obat nya adalah sesosok
makhluk dalam bentuk yang sama, Kamu.
Malam
itu, Bintang mengerjap-ngerjapkan cahaya, menari-nari seelok Bintang Diva.
Kerlap-kerlip nun jauh diangkasawan, senyum bulan sabit yang tak pernah pudar
menambah keakraban anatara malam dan hening yang sepakat untuk bersama. Pukul 3 pagi dini Hari Zahra
belum juga tertarik untuk bercengkrama dengan kasur empuknya, meski bantal
sudah menjanjikan mimpi indah untuknya.
Alam
menuai ceritanya, lewat embun-embun yang menempel dijendela kamar. Dahan-dahan
pohon kelapa menjuntai dimainkan burung gereja. Berloncat-loncatan, menyaksikan
kuasa Tuhannya. Tetap bersyukur meski terlahir menjadi burung.
Hari
ini adalah hari untuk kali pertamanya Zahra meninggalkan rumah, memulai
pelatihan Keguruan sebagai pendidik SM3T. Mama sudah berusaha membujuknya untuk
tetap disini melanjutkan S2 saja, hingga ia tidak perlu melepas anak putri
semata wayangnya. Namun hatinya tidak pernah mampu untuk menolak keinginan
anaknya. Hingga ketika keberangkatan Zahra pun Mama masih mengharu biru. Takut
Kehilangan. Hati zahra sempat goyah melihat kesehatan ibunya yang kian menurun
menjelang keberangkatannya. Namun Bapak terus menguatkan hatinya, “Zahra harus
menjadi anak Wanita tangguh, enggak cengeng, harus mandiri, supaya Bapak enggak
khawatir ketika harus pergi meninggalkan Zahra dan Mama, biar bisa ada yang
jagain Mama nanti kalau udah tua” nasehat demi nasehat Bapak, mengobarkan
semangat untuk merantau ke kampung orang dan juga karena ada anak-anak yang
harus diperjuangkan pendidikannya. Mengabdi pada Negara khususnya.
Pelukkan
Mama erat sekali, tangisnya seolah berbisik “tetaplah disini” namun bibirnya
keluh, antara rela dan tidak. “nanti kalau udah sampai langsung kabarin Mama
sama Bapak, jangan Lupa!” mama menekankan nada pada “jangan Lupa” karena ia
tahu putrinya pelupa akut. “nanti kalau disana pakai ini.. itu,, jangan ini..
jangan itu.. kalau kesana-kesini itu bilang, jangan lupa ini.. lupa itu.. “dan
masih banyak lagi ini- itu bekal nasehat Mama, setiap kali ia memberi jeda
Zahra hanya bergeming “Iyaa” tekatnya sudah bulat, meski jujur ia sulit sekali
melepaskan diri dari Mama.
Mengabdi pada negara dan
menghindari status pengangguran setelah tamat kuliah bukanlah satu-satunya
alasan ia mengikuti SM3T ini. Ada yang sedang ia tenangkan, menghapus jarak,
menghapus rindu, menghapus kenangan. Tanpa sisa. Rasanya melelahkan sekali
harus berdebat dengan hati sendiri setiap kali namanya tiba-tiba melintasi isi
kepala.
uluuuuu uluuuuu (biar ada yang coment)hahaha
BalasHapus