Kamis, 16 Februari 2017

Part 1 (Membungkus Rindu)

part 1...
By  ; Irmayani



MEMBUNGKUS RINDU
Bayanganmu dalam wujud nyata
Banyak yang sudah berubah ketika peristiwa itu, aku yang tidak lagi perduli dengan status kita, dan kamu yang selalu sibuk dengan duniamu. Itu biasa. Bahkan kita tidak saling berusaha menanyakan kabar satu sama lain. Entah karena saling merasa bahwa sekelebat rindu hanya intermezo kehidupan, sehingga ia tidak penting untuk dibahas terlalu jauh. Atau mungkin memang keduanya saling meniadakan rindu itu sendiri. Masing-masing membunuh dengan tega tiap kali sebuah rasa yang dinamakan rindu itu tiba-tiba nyelonong masuk tanpa izin oleh pemilik hatinya.
2 tahun silam, tepatnya ketika keduanya pernah saling mengabari lewat sosial media apapun bentuknya. Tidak ada yang perlu di khawatirkan tentang hubungan ini, keduanya tidak melanggar norma-norma yang ada hanya karena saling melepas diri satu sama lain. tapi ada satu yang tidak pernah berhenti menanyakan kabarnya. Tentang rasa yang sempat aku gantungkan padanya. Menerka-nerka apapun jawabannya.
Tiba-tiba saja cemburu. Cemburu pada tuts-tuts hitam Laptop yang tahu semua perasaannya, cemburu pada layar nya yang tiada henti ia tatap ketika sedang menumpahkan semua cerita imajinatifnya. Atau bahkan cemburu pada rol, jangka, kalkulator yang selalu ia bawa kemana-mana, cemburu pada sketsa gambar dengan beberapa coretan isihatinya. Cemburu pada bait-bait yang mengalir begitu saja terurai ketika ia membuat cerita idaman yang ia ingin sekali menjadi peran utamanya. Ah, apalah diriku. Untungnya saja aku tidak piawai menulis seperti dirinya. Mendeskripsikan semua perasaanku lewat kata-kata. atau menggambar sketsa wajahnya disampul belakang buku yang kupunya. tidak, untuknya aku tidak pernah memposisikannya dibelakang. Lembar pertama, sebagai pembuka. 
Apa yang kubisa selain menahannya, menahan rindu itu agar tidak buru-buru pergi. Tapi aku juga tidak bisa menyalahkan seutuhnya keberanian yang mudah menciut kala bertatapan dengannya. Konon, ia mengulas senyum. Tentu hatiku akan candu. Apalah arti kata yang hanya terdengar biasa untuk sapaan teman lama. “apa kabar?”. Tidak ada hal yang istimewa diantara dua kata tersebut dengan bumbu kalimat tanya dibelakangnya. Tapi ini jadi beda, karena dia yang melakukannya. Ku rasa teman tak senaif ini. Senaif rindu yang aku bungkus rapat-rapat. Menatanya rapi dipojok hati yang memang sudah kusediakan untuk namanya saja.  
Siapalah sosok “dia” yang memenuhi lembar-lembar kertas ini?. Jujur saja, tulisan ini hanya “modus” belaka agar aku bisa menceritakan diagnosa tentang dirinya pada kalian semua. Untuk apa? Entahlah, mungkin karena rindu ini kerap menghujam hati dan logikaku. Menggali kenangan-kenangan dengannya. Kalian tak perlu membayangkannya. Cukup dengarkan, kemudian kalian mengerti mengapa aku begitu memanjakan hati dan logikaku untuk masalah sepele bernama, ah.. aku tidak pernah menyebut ini cinta. Baiklah, kita sepakat bahwa ini hanya rindu yang tidak berkesudahan.

Sijelita yang kumaksud
“Syahdu... apa kau pernah jatuh cinta?” wanita yang dipanggil Syahdu itu mengangguk patah-patah. Ragu. Namun ia meng-iyakan juga akhirnya.
“bagaimanakah rasanya?” ia menatap wanita berhijab Pink disampingnya sibuk memainkan air laut.
“menyenangkan” jawabnya singkat, diselingi senyum. Membicarakan cinta memang kerap membuatnya malu-malu.
“semenyenangkan apa?” kali ini ia menatap penuh yakin teman disebelahnya, karena yang ia tahu wanita anggun berhijjab besar itu tidak pernah bercerita tentang kisah cintanya.
“semenyenangkan ketika kau bersama orang-orang yang teramat sangat kau sayangi” katanya mantap.
“tapi hati manusia bisa kapan saja di bolak-balik oleh-Nya. Kecewa bisa kapan saja datang bukan?” Zahra memungut ranting-ranting tembakau, yang sengaja ditinggal oleh ombak.
“Itu karena cinta kamu enggak disertai Cinta-Nya nona, naluriah manusia merasakan sakit, sedih, bahagia, kecewa bukan? Atau kamu mau berhenti merasakannya? Hidup hitam putih seperti tuts-tuts piano, setidaknya tuts-tuts piano lebih berwarna karena setiap nadanya merangkai irama penuh cinta.” Syahdu memberi Jeda untuk Zahra berkomentar, tapi ia tidak bergeming. Memilih menjadi pendengar yang setia.
“cieee kawan Syahdu lagi jatuh cinta..” Syahdu menggoda, Zahra tersenyum hambar, ada yang salah dengan perasanya. Seperti ada pengharapan yang tidak berujung kepastian.
“aku bersedia menjadi pendengar yang baik untukmu Ra, tapi aku enggak janji bisa kasih solusi terbaik.” Keduanya menatap laut lepas bersamaan, kornea mengarah ke fokus yang sama. Hening, selalu ada jeda yang panjang diantara pembicaraan mereka. Untuk kemudian keduanya tenggelam pada buaian nada yang tercipta antara angin pantai dan ruas-ruas daun kelapa. Masing-masing membungkus ceritanya untuk kembali membukanya disepertiga malam nanti. Merengek membujuk pada yang Maha Bijaksana.
Langit kemerah-merahan, mata Zahra menyapu desiran ombak dibibir pantai tempat mereka pernah beradu pandang dari jarak yang jauh. Zahra lebih berani menyimpannya sampai saat itu tiba, sampai Allah Ridha dan KUA mengakuinya.
Aku tidak sedang bermajas, prosa-prosa yang menjuntai indah dilangit aksara, hanya syair-syair bualan yang aku terka. Bukan fakta pula. hmmh, aku tak perlu memberitahunya padamu. Untuk apa pula? Demi mendapat simpatimu kah? Atau membuat dirimu bisa membuka sedikit saja cerita tentang kejadian yang kau rasakan begitu indah, tentunya tanpa aku disana.
Bagaimanapula aku bisa bahagia disini, jika yang menjadi penyebab dan obat nya adalah sesosok makhluk dalam bentuk yang sama, Kamu.
Malam itu, Bintang mengerjap-ngerjapkan cahaya, menari-nari seelok Bintang Diva. Kerlap-kerlip nun jauh diangkasawan, senyum bulan sabit yang tak pernah pudar menambah keakraban anatara malam dan hening yang sepakat untuk bersama. Pukul 3 pagi dini Hari Zahra belum juga tertarik untuk bercengkrama dengan kasur empuknya, meski bantal sudah menjanjikan mimpi indah untuknya.
Alam menuai ceritanya, lewat embun-embun yang menempel dijendela kamar. Dahan-dahan pohon kelapa menjuntai dimainkan burung gereja. Berloncat-loncatan, menyaksikan kuasa Tuhannya. Tetap bersyukur meski terlahir menjadi burung.
Hari ini adalah hari untuk kali pertamanya Zahra meninggalkan rumah, memulai pelatihan Keguruan sebagai pendidik SM3T. Mama sudah berusaha membujuknya untuk tetap disini melanjutkan S2 saja, hingga ia tidak perlu melepas anak putri semata wayangnya. Namun hatinya tidak pernah mampu untuk menolak keinginan anaknya. Hingga ketika keberangkatan Zahra pun Mama masih mengharu biru. Takut Kehilangan. Hati zahra sempat goyah melihat kesehatan ibunya yang kian menurun menjelang keberangkatannya. Namun Bapak terus menguatkan hatinya, “Zahra harus menjadi anak Wanita tangguh, enggak cengeng, harus mandiri, supaya Bapak enggak khawatir ketika harus pergi meninggalkan Zahra dan Mama, biar bisa ada yang jagain Mama nanti kalau udah tua” nasehat demi nasehat Bapak, mengobarkan semangat untuk merantau ke kampung orang dan juga karena ada anak-anak yang harus diperjuangkan pendidikannya. Mengabdi pada Negara khususnya.
Pelukkan Mama erat sekali, tangisnya seolah berbisik “tetaplah disini” namun bibirnya keluh, antara rela dan tidak. “nanti kalau udah sampai langsung kabarin Mama sama Bapak, jangan Lupa!” mama menekankan nada pada “jangan Lupa” karena ia tahu putrinya pelupa akut. “nanti kalau disana pakai ini.. itu,, jangan ini.. jangan itu.. kalau kesana-kesini itu bilang, jangan lupa ini.. lupa itu.. “dan masih banyak lagi ini- itu bekal nasehat Mama, setiap kali ia memberi jeda Zahra hanya bergeming “Iyaa” tekatnya sudah bulat, meski jujur ia sulit sekali melepaskan diri dari Mama.
Mengabdi pada negara dan menghindari status pengangguran setelah tamat kuliah bukanlah satu-satunya alasan ia mengikuti SM3T ini. Ada yang sedang ia tenangkan, menghapus jarak, menghapus rindu, menghapus kenangan. Tanpa sisa. Rasanya melelahkan sekali harus berdebat dengan hati sendiri setiap kali namanya tiba-tiba melintasi isi kepala.

1 komentar: