Selasa, 10 Oktober 2017

oh WAIT!



OH WAIT!


Di semenanjung pantai barat. Aku ingat pernah menulis namamu disana. Berharap angin menyampaikannya padamu yang kala itu entah dibelahan bumi mana. Ku fikir bahwa kelak aku akan bertemu dengan mu disini. Ibarat radar, angin pantai punya energi lebih untuk melakukan itu. Jika pun tidak, aku sudah merencanakan kelak kita membawa anak-anak kita kesini, bermain kejar-kejaran atau hanya sekedar bercengkrama ria. Melepas penat usai bekerja dan sekolah. Menjadi sandaran yang empuk sewaktu-waktu kepalamu membutuhkannya. Atau kau kah yang bersedia membaginya untukku yang terlalu lelah seharian merindumu kala bekerja?.
            Kian hari aku percaya. Bahwa kau terlalu jauh untuk menjangkau radarnya. Atau memang angin yang tidak amanah. Kurasa tidak, karena memang bukan itulah tugasnya. Untuk apa pula. Dia bekerja untuk mengantarkan ombak kembali ke laut.udah itu saja.
            Aku ingat kata para pujangga. Bahwa jodoh akan tiba diwaktu yang tepat. Tapi sayang para pujangga dahulu tidak menyambung syairnya, tidak dijelaskan kapan waktu yang tepat itu. Apa patokannya agar menjadi waktu yang tepat. Bagaimana karakteristiknya. Seharusnya para pujangga mempunyai kode etik juga dalam penulisannya. Tidak menggantungkan para pembaca yang sedang tergila-gila ingin jatuh cinta. Menunggu tidak sebercanda itu.
            “Ref... bulan depan dateng ya.. keacara lamaran ku sama Aldy.” Seseorang tiba-tiba muncul dari belakang.
            “kamu nikah wi??? Kok bisa?? Kenapa buru-buru?” aku meletakkan helm di stang motor yang sengaja ku parkirkan agak jauh dari motor-motor yang lain.
            “pertanyaan macam apa itu Ref.. sahabatmu mau nikah lo nih.. selamat kek, SaMaWa kek.. apa kek.. yahhhh layaknya orang dapet berita seneng..” wanita yang sedang berdiri tepat dihadapanku memanyunkan bibirnya. Memakai jilbab hitam dengan bordiran bunga di pinggirnya membuat pipinya lebih tirusan dibanding aslinya. Namun tetap anggun karena dipadankan dengan baju gamis polos berwarna pink, selaras dengan bunga-bunganya. Perfectly.
            “eitdah.. malah diem. 15 tahun kita berteman dan hanya dalam waktu 4 tahun kita berpisah, aku kudu belajar dari awal untuk kenal karakter kamu lagi yah Ref.” Wanita yang tingginya sebahuku menggeleng patah-patah tanda kecewa. Mataku mencari matanya. Menatapnya begitu khidmat. Seingatku dahulu dia paling anti dengan make up dan sejenisnya. Bibir mungilnya yang kemerah-merahan sebagai bukti bahwa ia sudah menjadi wanita seutuhnya. 
            “Ref... jangan bodoh. Dia udah mau nikah. Dan kau malah terpesona. Selabil inikah perasaanmu?. Hati-hati cinta ini digandrungi pihak ketiga bernama hantu blau, hantu ujala, atau hantu apalah yang bisa mencerahkan pakaian. Garis besar pakaian bukan perasaan”
            “oiiiii Ref,.. ngelamun mulu ih, gak seru ah.. padahal disempet-sempetin dateng kesini biar bisa share banyak hal. Tapi kayaknya aku salah orang” wanita bernama asli Dwi Zulaikha itu berusaha meninggalkannya. Namun kerinduannya terhadap teman yang selama 15 san tahun bersama tidak menggerakkan langkahnya.
            Melihatnya kembali, sambil memanyunkan bibirnya. Menjadi pemandangan indah tersendiri. Namun segera ku tampikkan perasaan yang entah bernama apa ini. Dalam hitungan detik mampu menggemparkan hati. Haruskah ku nodai cinta pertama ini dengannya yang telah resmi akan tunangan bulan depan. Sedangkan aku untuk jujur saja sangat sulit. Bagi sebagian wanita, mereka akan lebih dihargai ketika benar-benar diperjuangkan. Yap, salah satunya adalah menjaminnya untuk menikah bukan pacaran. Dan aku yakin benar bahwa Dwi masih wanita meski rada kelaki-lakian.
            “sejak kapan kamu pakaia jilbab gini?” aku mencoba menghibur dirinya.
            “sejak kenal calon aku..” katanya. Seolah ingin mengatakan, “biar bisa jadi istri soleha untuknya”
            “wah..  hijrahnya gak Lillahi ta’ala nih”
            “yeeeee semua kan kudu ada proses.” Kilahnya. “emang lu gak pernah hijrah, malu noh sama umur.” Sambungnya.
            “tenang... aku bakal hijrah kalo udah nemu calon jugak.”sahutku ngasal.
            “yang bilang lebihhh lebihhh lebihhh enggak lillahi Ta’ala..” Balasnya.
            “orang mana calonmu? Heran yah... di Moment bahagia bisa-bisanya enggak inget sama kawan sendiri.” Kataku mengalihkan pembahasan.
            “orang Semarang.. resiko orang merantau nih hehehe”
            “yahelah.. ada yang kemakan omongan sendiri. Kayaknya dulu ada yang bilang mau cari yang deket-deket aja hahaha.”
            “maaf bosss... udah ga jaman cari yang deket-deket. Gak berkembang entar hahaha”
Aku mengulas senyum mendengarnya. Yah, dari beberapa ekspresi entah kenapa harus senyum yang kupilih. Sungguh aku sedang menghianati diriku sendiri kali ini. Inipun sudah sangat sulit sekali melakukannya. Oh Allah... jatuh cintakan aku pada jodohku saja.

SEKIAN