Senin, 12 Oktober 2015

Bintang Di Siang Hari



Pemandangan pantai emang selalu indah, memandang jauh ke laut lepas membuat hati ini lebih sedikit tenang. Kesibukan kuliah membuat otakku benar-benar ingin di restart ulang. Yah, meskipun sedikit memori yang sudah terkena virus akan hilang. Tak mengapa, asal kenangan indah dahulu tetap tersimpan di memori hati ini.
            Angin di laut sama seperti dahulu, kencang hingga menyibakkan hijjab yang aku kenakan. Ranting-ranting pohon bakau melambai-lambai seolah memberi salam selamat datang kepadaku. Desiran ombak menjadi backsound bagi siapa saja yang sedang menikmatinya. Air laut bergerak kedepan kemudian mundur kembali, seperti sedang ditarik ulur. Kudekati bibir pantai yang menggoda itu, ingin dimainkan sepertinya. Bermain siram-siraman seperti dahulu. Kusadari bibirku sudah melengkung dengan sendirinya. Entah mengapa kenangan indah itu selalu muncul dimana saja. Saat apa saja. Tidak, itu karena akulah yang selalu mengingatnya. Perasaan yang terlambat untuk diutarakan.
            Ditengah pantai lelaki paruh baya sedang melambai-lambaikan tangannya kearah ku, kulirik sekitar tidak ada seorangpun. Tangan ku tergerak untuk membalas lambaiannya. Salah satu daya tarik pantai ini adalah tempatnya yang exotise dan terawat. Begitu pun para nelayannya, mereka sangat patuh dengan aturan untuk menjaga keindahan pantai. Contohnya lelaki paruh baya tadi, ia menggunakan kapal dayung agar tidak mencemari air laut.
            Kusisiri sepanjang jalan pantai dan memotret apa saja yang menurutku bagus dijadikan objek. Namun tak satupun foto yang bagus aku hasilkan hari ini. “yah, rusak...” anak seusia 5 tahunan sedang menatapku sinis, aku balik menatap mereka bergantian. “hikhik hik” tiba-tiba saja ia menangis. Ada sesuatu yang menubruk punggungku. Dan tahu-tahu dibelakang sudah ada temannya yang memukul dengan ranting pohon bakau. Aku semakin bingung dengan ulah anak-anak ini. Ku dekati anak lelaki itu dengan senyuman tulus. Namun ia malah menggandeng temannya kemudian berlari ke gerombolan rombongan disalah satu gubuk di arah barat. Dengan wajah kebencian anak lelaki itu memandangku, seakan aku adalah penjahat. “nyessss..” seperti ada yang menggelitik kakiku, ternyata tanpa aku sadari telah merusak istana pasir mereka. Duh, pantaslah mereka membenciku. Namun Lagi-lagi dua bocah cilik itu mengingatkanku pada masa indah dahulu, selalu ada orang yang membentengiku dari orang-orang jahat. Pahlawan superku. Tatapanku mengikuti langkah mereka yang semakin jauh. 
            Menikmati air kelapa diatas papan yang menjorok ke air pantai, menambah kenikmatan yang Allah berikan kepada hambanya. Jam menunjukkan pukul 09.00 WIB, pantai sudah mulai ramai oleh rombongan-rombongan keluarga. Ada yang sekedar melihat-lihat, foto-foto narsis bersama teman-teman bagi anak ABG, adapula yang hanya duduk digubuk sambil telvonan. Namun adakah yang seperti aku kepantai malah ngeflash back. Aku tertawa geli mendapati betapa menyedihkannya aku yang begini.
            “kak... boleh minta tolong ambilin foto kita?” seorang gadis cantik menyodorkan televon genggamnya padaku. Tanpa rasa bersalah menyuruhku dan tidak secara langsung mengusir dari tempat dudukku. Mau tak mau kulakukan juga permintaanya, lebih parahnya tidak cukup 1 kali jepretan, 10 kali jepretan dengan aneka pose dan emotion yang dibuat-buat. Jangan tebak aku bakal ngeflash back lagi. Kami tidak pernah melakukan itu. Karena kami tidak pacaran.
            Melihat pantai yang semakin ramai, aku memutuskan pulang. Kali ini aku ingin pulang kerumah menemui Mama dan papa. Udah 1 bulan lamanya aku di kos, rindu juga makan maskan mama yang super enak. Benar dugaanku mama sudah menyiapkan makanan kesukaanku. Jamur tiram. Mama selalu tahu apa yang aku suka, dan Papa selalu mengerti apa yang aku mau. Lagi-lagi aku sadar bahwa Allah memberi nikmat yang tak terhingga pada hambanya.
            “gimana kuliah kamu Fa?” Papa memecah keheningan.
            “alhamdulillah lancar Pah..” Aku menatap pria paruh baya berkaca mata itu.
            “Uangnya masih ada??” tanyanya lagi.
            “masih kok pah, Papah tenang aja.. Entar kalau kurang Syifa langsung ngadu sama Papah hehehe” aku tersenyum menatap wajah datar Papa.
            “kalau hatinya sedang gimana nduk?” Mama menggodaku. Aku hanya nyengir kuda menanggapi banyolan Mamah.
            “kalau Papah sih ya, setuju-setuju aja asal seiman, mau kerja, sayang sama anak Papah” Papa memainkan matanya pada Mama, begitu pun Mama membalasnya. Mereka jadi lebih cocok berpacaaran ketimbang menggodaku.
            “Syifa kan udah gede, udah dewasa, jangan sungkan kalau mau curhat sama Mama. Gini-gini Mama motivator cinta terpercaya. Noh, contohnya kakak-kakak kamu, itu karena mereka selalu cerita sama Mama, yahhh bukan berarti Mama nyuruh kamu pacaran nduk”.Mama membelai Hijjabku lembut, kemudian kecupan manis mendarat dipipiku.kusempatkan membalas kecupannya.
            Seusai makan kususuri ranjang yang masih tetap rapi, kelihatan sekali tidak ada yang menyentuhnya ketika aku tidak dirumah. Merebahkan badan yang mulai terasa lelah karena seharian berjalan. Menerawang jauh ke atap—atap asbes. Ku buka kertas yang sudah tidak layak untuk disimpan, berkali-kali diremas, basah oleh air mata dan sempat tersobek namun di satukan kembali. Sebuah surat cinta darinya. Atau lebih tepatnya sat-satunya surat yang pernah dikirim untukku. Ku baca berulang-ulang hingga mataku lelah dan menutup.
            “Udah jangan nangis, mereka udah lari aku pukul tadi.” Anak laki-laki itu menghapus air mataku dengan bajunya. Kata-katanya memang selalu menyihirku untuk selalu tersenyum.
            “Fah, liat itu.. pesawat terbang.. wushhhhhh” Anak kecil tadi mengepakkan kedua tangannya sambil berputar-putar mengelilingiku. Aku tertawa melihat tingkahnya.
            “Fah, nanti kalau udah besar aku mau jadi supir pesawat. Cifah mau aku ajak kemana?”
            “Kebulan sama ke Matahari!” jawabku cepat “nanti Cifah mau bawa oleh-oleh bintang buat Mamah sama Papah”.
            “Iyah, nanti kita bawa bintang yang buaaaaaaaanyak buat nenek, kakek, Ma, Pa, Akak, abang, Pakde, buk de, semuaanya kita kasih.” Kami tertawa girang sambil membayangkan bintang ada dimana-mana. Tiba-tiba saja salah satu bintang digenggamanku terjatuh, Air laut yang sedang beradu, dengan cepat menyeret bintang itu menjauh dariku. Spontan aku menangis. Dengan gagahnya anak kecil tadi mengepakkan sayapnya bak sedang menyelamatkan bintang. Namun ombak nampaknya sedang ceria menyeret apa saja yang mengganggunya. Tangisku tumpah melihat anak lelaki itu terseret semakin jauh. Jauh sekali.
            “Fah.. syifah.. bangun Fah.” Sontak aku terbangun dari mimpi aneh itu. Pipi ku basah, hidungku pun berair.
            “mimpi apa kamu sampai segitunya?” Mama cemas menatapku. Aku mendarat dipunggung Mamah yang siap menampung air mataku. “Alwi Mah..” kupeluk Mamah semakin erat, akhirnya perasaan yang selama ini ku pendam sendiri harus aku beberkan kepada wanita hebat dirangkulanku. Mamah semakin erat memelukku, meski wajahnya tak terlihat olehku, aku tahu Mamah sedang tersenyum melihatku begini. Aku selalu memendamnya sendiri, tidak terlalu suka dengan curhat sana-sini yang seperti dilakukan kakak-kakakku, ketika sedang menghadapi kisah cintanya. Yah, usiaku memang sedang menginjak 19 tahun. Hal yang wajar mungkin untuk sekedar menceritakan siapa orang yang sedang singgah dihati.
            “Kamu mimpi’in Alwi? Itu artinya Alwi minta dido’akan sama kamu syifah?” dadaku malah semakin terasa sesak mendengar nasihat Mamah. Alwi memang sudah meninggal sejak 14 tahun yang lalu. Tepatnya ketika kami sedang study tour ke kebun binatang. Ketika itu Ibu guru membagi dua kelompok, dan sayangnya aku dan Alwi harus berpisah. Tidak ada teman yang ingin mengajakku bermain, mereka takut karena aku mudah menangis dan ngambek. Si Ciwek. Itulah panggilan jelekku di Tk. Karena hal kecil saja bisa membuatku menangis, sampai ibu guru kewalahan. Ada yang menyenggolku dari belakang misalnya atau sekedar membuat lelucon tentangku, dan banyak hal-hal kecil lainnya, mungkin jika ada pemecah rekor nangis terbanyak akulah orangnya. “eh, jangan main sama dia. Nanti dia nangis lo..” begitulah kira-kira kata-kata yang keluar dari mereka ketika ada salah satu teman yang mencoba mendekatiku. Berbeda dengan Alwi, dia disukai banyak teman, orang yang humoris serta pintar berbaur. Untuk itu Mamah menyuruh Alwi agar menjagaku di sekolah agar tidak ada yang berani menggangguku.
            “udah jangan nangis lagi... engga malu sama umur kamu nih..” Mamah menggodaku. Aku tersenyum simpul perlahan melepaskan rangkulan. “Mandi gih, bau asem hehehe”. “ iyahhh Mama ku sayang muah..” Aku beranjak dari tempat tidur, dan berjalan gontai menuju kamar mandi. “Oh Mah... tolong ambilin Handuk Cifah. Cifah lupa..” teriakku dari kamar mandi. “yah jelas lupa, wong Alwi aja yang difikirin”. Mama menyodorkan handuk ke tanganku yang sudah ngawil di balik pintu kamar mandi. “ mulai deh.... jangan buat gosip dong Mah..” suara tapak kaki Mamah perlahan menghilang.
            Mataku sembab. Entah mengapa akhir-akhir ini aku selalu kefikiran Alwi. Padahal ia sudah lama meninggal, atau mungkin lebih tepatnya menyesali apa yang pernah terjadi dahulu. Ketika study tour ada anak laki-laki yang menjahiliku. menyangkutkan tempat minumku di ranting pohon. Tentu aku menangis, dan Pasti Alwi datang untuk menolongku. Namun sebelum Alwi datang Mereka sudah kabur sambil memainkan muka jelek ngeledekin. Aku menangis, ketika itu guru-guru sedang sibuk mengambil makan siang dalam Bus. Alwi datang dengan nafas terengah-engah, ia mengelus jilbab yang aku kenakan. “udah dong, cifah jangan nangis terus.. Alwi capek lari-lari.” Aku manyun masih terisak, dan menunjuk tempat minum yang sudah menggantung diatas ranting jambu biji. “yaudah, Cifah sini aja.. biar Alwi yang ambilin.” Namun sayangnya tempat minum itu malah jatuh kekandang Badak. Berbagai cara telah kami lakukan, tapi sia-sia. Mataku berair kemudian mengisak kembali. Alwi menatapku kasihan.kemudian dengan gaya ala Superman iya masuk ngeloyor kedalam kandang Badak, tubuhnya yang tidak terlalu gemuk memudahkannya untuk masuk kekandang. Entah bagaimana caranya tahu-tahu ia sudah mengangkat tempat minumku. Lagi-lagi ia berhasil membuatku tersenyum bahagia. Senyumku pecah, ketika dari arah belakang Alwi sudah diseruduk oleh badak yang sedari tadi tidak kami sadari keberadaannya. Ia terpental jauh. Kepalanya berdarah menubruk dinding dihadapannya. Aku nangis histeris memanggil ibu guru yang masih sibuk membawa makanan kami. “Ada apa Syifah?” Bu Nurwati panik melihatku. “Alwi dimakan badak..” aku menyeret Ibu guru kekandang badak yang sudah banyak kerumunan para pengunjung. Alwi sudah dikeluarkan dari kandang Badak, namun sayang benturan yang hebaat membuat Alwi pendarahan, dan tidak terselamatkan. Anehnya aku yang selalu menganggap Alwi kuat, tidak pernah berfikir kalau ia akan meninggal.
                                                                        TTT
            Esoknya Dirumah Alwi sudah banyak orang berdatangan, seperti ada acara besar-besaran. Apa Alwi sedang Ulang tahun? Tapi kenapa Mamah tidak menyuruhku keluar rumah. Aku hanya bisa menatap dari balik pagar rumah. Pandanganku tidak pernah lepas dari rumahnya. Bi Tri, Mamah Alwi keluar sambil menangis di pundak Om Lan, Papah Alwi. Kemudian orang orang keluar rumah dengan membopong besi hijau dan ada bunga-bunga diatasnya. Mamah pernah bilang itu mobilnya orang meninggal. Tapi dimana Alwi? Kenapa satu harian ini dia tidak mengajakku bermain? Padahal sedang libur sekolah. Untuk esok dan seterusnya aku tidak pernah melihat Alwi lagi. Dan semenjak itupula aku berhenti menangis dan menahan segala emosi ku sendiri.
            Bukankah cinta itu seperti air hujan yang Allah turunkan untuk hambanya sebagai salah satu bentuk nikmat yang tiada hingga. Membasahi bumi hingga menumbuhkan bearneka tumbuh-tumbuhan sebagai kesenangan. Namun tumbuhan juga akan mengering jua akhirnya kemudian hancur lebur tertiup angin.toh kembali ke Hukum Allah, bahwa tiada yang abadi didunia ini, secinta apapun kita terhadap sesuatu, kita akan kehilangannya, cepat atau lambat. Setidaknya aku diizinkan melihat senyumnya yang selalu menyihirku. Bahkan disaat begini pun kala mengenangnya bibir ini melengkung dengan seendirinya. Benar. Alwi tidak pernah membuatku menangis. Kenangannya selalu membuatku ingin kembali kemasa itu.
2 tahun kemudian...
            Suasana fajar yang indah. Kuusap embun yang menempel dijendela kamarku. Diam-diam aku berbisik pada alam, setelah sekian lamanya tidak bermesraan pada sang Maha Penyayang disepertiga malam. Kamar bermotif taman itu tertata rapih sekali  dengan hiasan lampu-lampu neon diatas ranjang tidur. Senyaman apapun tempat tidurnya. Kamar akan selalu lebih nyaman ketika lantunan ayat suci sering terdengar didalamnya. Kusempatkan membuka lembar demi lembar Al-Qur’an bersampul hitam itu. Al-Qur’an itu adalah pemberian dari seseorang yang dikenalkan Asri olehku 2 minggu yang lalu. Aku tidak pernah bisa membuka hatiku untuk pria manapun, bahkan aku menolak untuk bertemu dengan nya. Asri tampak kecewa melihatku yang selalu mengkaitkan masalah pria dengan masa lalu.
            “Fah... kamu engga bisa gini terus.. jangan egois dong Fah.. kalian belum ketemu, kenapa langsung ditolak gitu sih? Aku kasih alamat Email kamu aja yah?” Asri menatapku kesal. “Fah... ayo dong..” bujuknya
            “iyah iyah... kasih aja alamat email ku.. lagian kenapa ngebet banget sih sri? Kenapa engga sama kamu aja?” aku kembali fokus dengan laptop didepanku.
            “yah bukan apa-apa... wong dia maunya sama kamu. Aku kan ga bisa maksa juga Fah.. lagian kenapa kamu engga pernah bisa move on gitu dari Alwi? Mau bagaimanapun kalian...” aku menutup mulut Sri, mengkodenya untuk tidak melanjutkan pembicaraaannya. Asri menunduk takluk. Aku tidak pernah suka Alwi menjadi alasan setiap masalah hatiku.
            “eh Sri, kamu yakin dia orang baik-baik? Masa beum apa-apa udah ngasih-ngasih... norak banget tau ga sih?” konsentrasi ku hilang, kembali melanjutkan pembicaraan yang sedikit menarik.
            “Yah jelas donk.. kamunya aja yang  ga bisa dikodein sayang...”
            “baru kenal masalahnya... “ aku merapikan jilbab yang sedikit miring.”kan kamu yang baru kenal Fah, dia mah udah kenal lama.. lama banget malah.” Aku mengernyitkan dahi semakin tidak mengerti arah perbincangan kami.
            “lama...??? ah, namanya aja baru denger. Jebakan ni ya.. kaya sinetron aja sih dirimu.” Aku tertawa geli sambil mencubit pipi Asri yang chubi.”lagian aku ga mau pacaran Sri, ga ada disuruh tu dalam Al-Qur’an” kataku acuh kemudian
            “yah siapa juga yang nyuruh kamu pacaran Fah, apa salahnya juga kan silaturahim, kalau kamu ga suka yah tinggal bilang sama orangnya” tawa cempreng Asri pecah seketika. Aku hanya menggeleng sambil tersenyum melihat tingkahnya.”tapi sih itu kembali lagi dikamu Fah, aku ga bisa maksa juga kan, asal jangan jadi Pertu aja deh ya.. ahahaha”
            “hushhh.. ngaco kamu nih” wajahku tegas menatapnya, Asri udah ngeloyor duluan ke kelas.
            Aku dengan Asri memang sudah dekat dari awal masuk kampus, saking seringnya bersama kami sering dijuluki kembar. Namun kesibukan untuk menyusun skripsi dan lain-lain menyita waktu kami untuk tidak bertemu. Sesekali kami hanya menyapa lewat email, sms dan alat komunikasi lainnya. Dan terakhir kali ketika 1 tahun yang lalu ia mengabari bahwa ia telah menikah. Aku bahagia mendengarnya, dia gadis yang cantik dan baik, pastilah sangat beruntung pria yang mampu memikat hatinya. Namun perbincangan kami terputus karena ia harus sibuk menyiapkan persiapan pernikahannya. Aku tidak dapat ambil andil dalam pernikahannya. Hanya do’a restu yang dapat aku berikan padanya, semoga ia bahagia dunia akhirat.
Seusai tamat dari kampus aku langsung melanjutkan S2 di salah satu perguruan tinggi Negri di luar kota. Sa’at itulah aku terasa bahwa kehadiran teman sangat berpengaruh besar dalam psikologi. Aku tidak pernah berkomunikasi lagi dengan Asri. So, Aku yang mulanya tertutup sedikit demi sedikit mulai mau curhat sama Mamah. Dua tahun lamanya dikampung orang membuatku sangat rindu rumah, kamar, pantai, dan hal-hal lain yang membuatku ingin pulang. Tetiba terlintas dalam fikiranku tentang Al-Qur’an yang diberi seseorang melalui Asri untukku. Benar, aku memang tidak pernah memperdulikannya, bahkan aku tidak ingin tahu tentangnya. Aku juga hanya membukanya sesekali pas lagi dirumah. Karena Aku lebih suka Al-Qur’an bermotif golden yang diberi Papah tepat aku berusia 17 tahun.
                                                                        T T T
            Kamar memang tempat paling nyaman  setelah pelukan Mamah, aku membanting koper berisi baju-baju. Menimba ilmu di kampung orang telah usai, dan kukerjakan secara baik terbukti aku telah mendapat gelar M.Sc. Satu hal yang membuatku bangga, karena ini adalah impian kedua orang tuaku yang diamanahkan kepadaku. Namun, selepas dari itu mereka juga ingin melihatku bahagia dengan orang yang sangat aku cintai. Mereka khawatir aku jera jatuh cinta. Atau tidak pernah ingin menikah karena takut kehilangan. Beberapa kali Papah menawarkan pemuda yang secara materi atau agamanya dapet jempol. Namun, entah mengapa hatiku berkata “tunggu!”
            Ku buka Al-Qur’an pemberian seseorang yang entah siapa namanya. “plukkk” selembar kertas jatuh dipangkuanku, kertas sederhana dengan lipatan sederhana. Ku buka setiap lipatannya, hatiku berdegup tak teratur. “ dari Aku yang selalu menunggumu” kata yang cukup manis untuk kata pembuka surat.
Dear : Kamu yang selalu ku Tunggu.
Aku adalah orang yang selalu menunggumu.
Orang biasa dari kalangan biasa, kamu tidak pernah memperhatikanku.
Meski begitu aku tetap senang karena aku tidak perlu menuntut untuk kamu perhatikan terus menerus.
Kamu mungkin baru membacanya sekarang. Setelah lama kamu menerima kado pemberianku. Tak mengapa. Karena ketika kamu membaca surat ini. Kamu sudah siap untuk berta’aruf denganku.
Aku bukan orang alim, namun aku akan berusaha menjadi imam yang baik untuk istri dan anakku
Aku bukan orang yang bergelimang harta, namun aku akan berusaha agar istri dan anakku dapat hidup layak.
Aku juga bukan orang yang tampan, namun aku akan terus meperbaiki Akhlakku.
Entah mengapa ketika melihatmu di tanggal 07 februari 2013 di pantai, membujuk siswa TK yang sedanng menangis karena istana pasirnya kamu rusak, kamu tahu aku adalah guru mereka. Aku ingin menghampirimu waktu itu, namun aku tahu jarak memang selalu ada untuk kita. Sehingga aku lebih memilih mundur secara perlahan dan mengenyahkan keinginanku. 09 mei aku sudah wisudah, saat itu aku mulai memikirkanmu kembali. Shallat istikharah juga telah aku laksanakan, dan hatiku semakin mantab memilihmu untuk menjadi calon istriku. Maka surat ini benar adanya, untuk sekarang pun aku tetap menunggu jawabanmu.
Ridwan A.H (guru madrasah kamu)
TTT
            Surat Lamaran tak terduga. Aku terdiam seusai membacanya. Entah mengapa jantung mulai mendobrak-dobrak batinku. Seakan berkata dimana gerangan. Aku mencoba menelvon Asri. Beberapa kali baru diangkat. Aku menanyakan alamatnya sekarang. Rasanya ingin meluapkan semua perasaanku padanya. Padahal badanku sangat capek karena baru pulang. Namun terasa ringan ketika menuju kerumah Asri mengendarai motor. Bayang-bayang Pak Ridwan Guru madrasahku pun terlintas begitu cepat diotakku. Dia memang guruku perbedaan usia 3 tahun, membuatnya tidak pantas dipanggil “pak” untuk sekarang. Bibirku melengkung seketika. Namun prasangka, jika ia sudah memilih calon yang lain. Mengenyahkan semuanya.
            Aku mendaratkan pelukanku ke tubuh Asri yang semakin berisi. Ia tersenyum membalas pelukanku. Rumahnya sederhana, namun tertatah rapih dengan hiasan bunga-bunga. Asri memang piawai dalam memainkan perannya sebagai ibu rumah tangga. Kami saling menceritakan kesibukan masing- masing setelah wisudah. Tiba-tiba Seseorang keluar dari bilik kamar. Posturnya tinggi, ukuran pria yang tampan. Namun, hatiku terasa  sakit melihatnya. Tatapannya tajam, tepat menancap dalam relung hati paling dalam.
            “Syifah?” Asri melambaikan tangannya dihadapanku. Menyadarkan keheninganku yang begitu lama. Aku kikuk dihadapan mereka. Aku tidak pernah menyadari bahwa Ridwan yang beberapa menit lalu melamarku lewat surat beberapa tahun yang lalu. dan lagi – lagi perasaaan yang terlambat untuk diutarakan. Aku menyembunyikan semuanya, niat untuk meluapkan perasaanku harus aku buang jauh- jauh. Aku tidak akan mema’afkan diriku sendiri jika mendapati keegoisanku merusak rumah tangga orang lain.
            “kapan kamu nikah Fah.. jangan lama-lama jomblo loh.. bukankah menikah juga sunnah rasul?” aku tersenyum mendengar penuturannya yang semakin lemah lembut, sepertinya jiwa keibuan telah melekat dijiwanya.
            “Belum ada yang ngelamar Sri..” Aku tertawa geli mendengar penuturanku sendiri. Tepatnya mendapati betapa menyedihkannya diriku yang begini.
            “kalau aku yang ngelamar gimana?” tiba-tiba suara pria menggelegar ditelingaku, guncangan dahsyat hatipun menambah keramaian gejolak didada. Namun, anehnya Asri malah tersenyum tulus melihat tingkahku yang kikuk begini. “A.. Pa mak sud mu?” tanyaku terbata-bata.
            “kok apa maksudnya toh Fah, dia lagi ngelamar kamu nih, kamu mau engga??” Asri menatapku lembut. “kamu apa-apaan sih Sri? Kamu mau dipoligami?” tegasku melihatnya iba. Mereka tertawa. Aku terdiam. “ini bukan lelucon tau” aku beranjak dari sofa namun Asri memelukku. “dia bukan suamiku. Dia adik suamiku.. kesini tadi nganterin anakku yang lagi ngambek ga mau aku mandi’in. Dia selalu menanyakanmu, bahkan aku sampai bosan mendengar curhatnya. Hehehe ma’af aku ga mau mengganggu kuliah kamu. jadi aku berniat menceritakannya ketika kamu sampai sini. Udah jangan nangis lagi.” Air mataku tidak berhenti, rasa apa ini? Entahlah yang pasti aku bahagia.
            Pria tepat dihadapanku trsenyum aku membalasnya haru. Surat lamaran kilat yang romantis.