Pemandangan pantai emang selalu
indah, memandang jauh ke laut lepas membuat hati ini lebih sedikit tenang.
Kesibukan kuliah membuat otakku benar-benar ingin di restart ulang. Yah,
meskipun sedikit memori yang sudah terkena virus akan hilang. Tak mengapa, asal
kenangan indah dahulu tetap tersimpan di memori hati ini.
Angin
di laut sama seperti dahulu, kencang hingga menyibakkan hijjab yang aku
kenakan. Ranting-ranting pohon bakau melambai-lambai seolah memberi salam
selamat datang kepadaku. Desiran ombak menjadi backsound bagi siapa saja yang
sedang menikmatinya. Air laut bergerak kedepan kemudian mundur kembali, seperti
sedang ditarik ulur. Kudekati bibir pantai yang menggoda itu, ingin dimainkan
sepertinya. Bermain siram-siraman seperti dahulu. Kusadari bibirku sudah
melengkung dengan sendirinya. Entah mengapa kenangan indah itu selalu muncul
dimana saja. Saat apa saja. Tidak, itu karena akulah yang selalu mengingatnya.
Perasaan yang terlambat untuk diutarakan.
Ditengah
pantai lelaki paruh baya sedang melambai-lambaikan tangannya kearah ku, kulirik
sekitar tidak ada seorangpun. Tangan ku tergerak untuk membalas lambaiannya.
Salah satu daya tarik pantai ini adalah tempatnya yang exotise dan terawat.
Begitu pun para nelayannya, mereka sangat patuh dengan aturan untuk menjaga
keindahan pantai. Contohnya lelaki paruh baya tadi, ia menggunakan kapal dayung
agar tidak mencemari air laut.
Kusisiri
sepanjang jalan pantai dan memotret apa saja yang menurutku bagus dijadikan
objek. Namun tak satupun foto yang bagus aku hasilkan hari ini. “yah, rusak...”
anak seusia 5 tahunan sedang menatapku sinis, aku balik menatap mereka
bergantian. “hikhik hik” tiba-tiba saja ia menangis. Ada sesuatu yang menubruk
punggungku. Dan tahu-tahu dibelakang sudah ada temannya yang memukul dengan
ranting pohon bakau. Aku semakin bingung dengan ulah anak-anak ini. Ku dekati
anak lelaki itu dengan senyuman tulus. Namun ia malah menggandeng temannya
kemudian berlari ke gerombolan rombongan disalah satu gubuk di arah barat. Dengan
wajah kebencian anak lelaki itu memandangku, seakan aku adalah penjahat. “nyessss..”
seperti ada yang menggelitik kakiku, ternyata tanpa aku sadari telah merusak
istana pasir mereka. Duh, pantaslah mereka membenciku. Namun Lagi-lagi dua
bocah cilik itu mengingatkanku pada masa indah dahulu, selalu ada orang yang
membentengiku dari orang-orang jahat. Pahlawan superku. Tatapanku mengikuti
langkah mereka yang semakin jauh.
Menikmati
air kelapa diatas papan yang menjorok ke air pantai, menambah kenikmatan yang
Allah berikan kepada hambanya. Jam menunjukkan pukul 09.00 WIB, pantai sudah
mulai ramai oleh rombongan-rombongan keluarga. Ada yang sekedar melihat-lihat,
foto-foto narsis bersama teman-teman bagi anak ABG, adapula yang hanya duduk
digubuk sambil telvonan. Namun adakah yang seperti aku kepantai malah ngeflash
back. Aku tertawa geli mendapati betapa menyedihkannya aku yang begini.
“kak...
boleh minta tolong ambilin foto kita?” seorang gadis cantik menyodorkan televon
genggamnya padaku. Tanpa rasa bersalah menyuruhku dan tidak secara langsung
mengusir dari tempat dudukku. Mau tak mau kulakukan juga permintaanya, lebih
parahnya tidak cukup 1 kali jepretan, 10 kali jepretan dengan aneka pose dan
emotion yang dibuat-buat. Jangan tebak aku bakal ngeflash back lagi. Kami tidak
pernah melakukan itu. Karena kami tidak pacaran.
Melihat
pantai yang semakin ramai, aku memutuskan pulang. Kali ini aku ingin pulang
kerumah menemui Mama dan papa. Udah 1 bulan lamanya aku di kos, rindu juga
makan maskan mama yang super enak. Benar dugaanku mama sudah menyiapkan makanan
kesukaanku. Jamur tiram. Mama selalu tahu apa yang aku suka, dan Papa selalu
mengerti apa yang aku mau. Lagi-lagi aku sadar bahwa Allah memberi nikmat yang
tak terhingga pada hambanya.
“gimana
kuliah kamu Fa?” Papa memecah keheningan.
“alhamdulillah
lancar Pah..” Aku menatap pria paruh baya berkaca mata itu.
“Uangnya
masih ada??” tanyanya lagi.
“masih
kok pah, Papah tenang aja.. Entar kalau kurang Syifa langsung ngadu sama Papah
hehehe” aku tersenyum menatap wajah datar Papa.
“kalau
hatinya sedang gimana nduk?” Mama menggodaku. Aku hanya nyengir kuda menanggapi
banyolan Mamah.
“kalau
Papah sih ya, setuju-setuju aja asal seiman, mau kerja, sayang sama anak Papah”
Papa memainkan matanya pada Mama, begitu pun Mama membalasnya. Mereka jadi
lebih cocok berpacaaran ketimbang menggodaku.
“Syifa
kan udah gede, udah dewasa, jangan sungkan kalau mau curhat sama Mama.
Gini-gini Mama motivator cinta terpercaya. Noh, contohnya kakak-kakak kamu, itu
karena mereka selalu cerita sama Mama, yahhh bukan berarti Mama nyuruh kamu
pacaran nduk”.Mama membelai Hijjabku lembut, kemudian kecupan manis mendarat
dipipiku.kusempatkan membalas kecupannya.
Seusai
makan kususuri ranjang yang masih tetap rapi, kelihatan sekali tidak ada yang
menyentuhnya ketika aku tidak dirumah. Merebahkan badan yang mulai terasa lelah
karena seharian berjalan. Menerawang jauh ke atap—atap asbes. Ku buka kertas
yang sudah tidak layak untuk disimpan, berkali-kali diremas, basah oleh air
mata dan sempat tersobek namun di satukan kembali. Sebuah surat cinta darinya.
Atau lebih tepatnya sat-satunya surat yang pernah dikirim untukku. Ku baca
berulang-ulang hingga mataku lelah dan menutup.
“Udah
jangan nangis, mereka udah lari aku pukul tadi.” Anak laki-laki itu menghapus
air mataku dengan bajunya. Kata-katanya memang selalu menyihirku untuk selalu
tersenyum.
“Fah,
liat itu.. pesawat terbang.. wushhhhhh” Anak kecil tadi mengepakkan kedua
tangannya sambil berputar-putar mengelilingiku. Aku tertawa melihat tingkahnya.
“Fah,
nanti kalau udah besar aku mau jadi supir pesawat. Cifah mau aku ajak kemana?”
“Kebulan
sama ke Matahari!” jawabku cepat “nanti Cifah mau bawa oleh-oleh bintang buat
Mamah sama Papah”.
“Iyah,
nanti kita bawa bintang yang buaaaaaaaanyak buat nenek, kakek, Ma, Pa, Akak,
abang, Pakde, buk de, semuaanya kita kasih.” Kami tertawa girang sambil
membayangkan bintang ada dimana-mana. Tiba-tiba saja salah satu bintang
digenggamanku terjatuh, Air laut yang sedang beradu, dengan cepat menyeret
bintang itu menjauh dariku. Spontan aku menangis. Dengan gagahnya anak kecil
tadi mengepakkan sayapnya bak sedang menyelamatkan bintang. Namun ombak
nampaknya sedang ceria menyeret apa saja yang mengganggunya. Tangisku tumpah
melihat anak lelaki itu terseret semakin jauh. Jauh sekali.
“Fah..
syifah.. bangun Fah.” Sontak aku terbangun dari mimpi aneh itu. Pipi ku basah,
hidungku pun berair.
“mimpi
apa kamu sampai segitunya?” Mama cemas menatapku. Aku mendarat dipunggung Mamah
yang siap menampung air mataku. “Alwi Mah..” kupeluk Mamah semakin erat,
akhirnya perasaan yang selama ini ku pendam sendiri harus aku beberkan kepada
wanita hebat dirangkulanku. Mamah semakin erat memelukku, meski wajahnya tak
terlihat olehku, aku tahu Mamah sedang tersenyum melihatku begini. Aku selalu
memendamnya sendiri, tidak terlalu suka dengan curhat sana-sini yang seperti
dilakukan kakak-kakakku, ketika sedang menghadapi kisah cintanya. Yah, usiaku
memang sedang menginjak 19 tahun. Hal yang wajar mungkin untuk sekedar
menceritakan siapa orang yang sedang singgah dihati.
“Kamu
mimpi’in Alwi? Itu artinya Alwi minta dido’akan sama kamu syifah?” dadaku malah
semakin terasa sesak mendengar nasihat Mamah. Alwi memang sudah meninggal sejak
14 tahun yang lalu. Tepatnya ketika kami sedang study tour ke kebun binatang.
Ketika itu Ibu guru membagi dua kelompok, dan sayangnya aku dan Alwi harus
berpisah. Tidak ada teman yang ingin mengajakku bermain, mereka takut karena
aku mudah menangis dan ngambek. Si Ciwek. Itulah panggilan jelekku di Tk.
Karena hal kecil saja bisa membuatku menangis, sampai ibu guru kewalahan. Ada
yang menyenggolku dari belakang misalnya atau sekedar membuat lelucon
tentangku, dan banyak hal-hal kecil lainnya, mungkin jika ada pemecah rekor
nangis terbanyak akulah orangnya. “eh, jangan main sama dia. Nanti dia nangis
lo..” begitulah kira-kira kata-kata yang keluar dari mereka ketika ada salah
satu teman yang mencoba mendekatiku. Berbeda dengan Alwi, dia disukai banyak
teman, orang yang humoris serta pintar berbaur. Untuk itu Mamah menyuruh Alwi agar
menjagaku di sekolah agar tidak ada yang berani menggangguku.
“udah
jangan nangis lagi... engga malu sama umur kamu nih..” Mamah menggodaku. Aku
tersenyum simpul perlahan melepaskan rangkulan. “Mandi gih, bau asem hehehe”. “
iyahhh Mama ku sayang muah..” Aku beranjak dari tempat tidur, dan berjalan
gontai menuju kamar mandi. “Oh Mah... tolong ambilin Handuk Cifah. Cifah
lupa..” teriakku dari kamar mandi. “yah jelas lupa, wong Alwi aja yang
difikirin”. Mama menyodorkan handuk ke tanganku yang sudah ngawil di balik
pintu kamar mandi. “ mulai deh.... jangan buat gosip dong Mah..” suara tapak
kaki Mamah perlahan menghilang.
Mataku
sembab. Entah mengapa akhir-akhir ini aku selalu kefikiran Alwi. Padahal ia
sudah lama meninggal, atau mungkin lebih tepatnya menyesali apa yang pernah
terjadi dahulu. Ketika study tour ada anak laki-laki yang menjahiliku.
menyangkutkan tempat minumku di ranting pohon. Tentu aku menangis, dan Pasti
Alwi datang untuk menolongku. Namun sebelum Alwi datang Mereka sudah kabur
sambil memainkan muka jelek ngeledekin. Aku menangis, ketika itu guru-guru
sedang sibuk mengambil makan siang dalam Bus. Alwi datang dengan nafas
terengah-engah, ia mengelus jilbab yang aku kenakan. “udah dong, cifah jangan
nangis terus.. Alwi capek lari-lari.” Aku manyun masih terisak, dan menunjuk
tempat minum yang sudah menggantung diatas ranting jambu biji. “yaudah, Cifah
sini aja.. biar Alwi yang ambilin.” Namun sayangnya tempat minum itu malah jatuh
kekandang Badak. Berbagai cara telah kami lakukan, tapi sia-sia. Mataku berair
kemudian mengisak kembali. Alwi menatapku kasihan.kemudian dengan gaya ala
Superman iya masuk ngeloyor kedalam kandang Badak, tubuhnya yang tidak terlalu
gemuk memudahkannya untuk masuk kekandang. Entah bagaimana caranya tahu-tahu ia
sudah mengangkat tempat minumku. Lagi-lagi ia berhasil membuatku tersenyum
bahagia. Senyumku pecah, ketika dari arah belakang Alwi sudah diseruduk oleh
badak yang sedari tadi tidak kami sadari keberadaannya. Ia terpental jauh.
Kepalanya berdarah menubruk dinding dihadapannya. Aku nangis histeris memanggil
ibu guru yang masih sibuk membawa makanan kami. “Ada apa Syifah?” Bu Nurwati
panik melihatku. “Alwi dimakan badak..” aku menyeret Ibu guru kekandang badak
yang sudah banyak kerumunan para pengunjung. Alwi sudah dikeluarkan dari
kandang Badak, namun sayang benturan yang hebaat membuat Alwi pendarahan, dan
tidak terselamatkan. Anehnya aku yang selalu menganggap Alwi kuat, tidak pernah
berfikir kalau ia akan meninggal.
TTT
Esoknya
Dirumah Alwi sudah banyak orang berdatangan, seperti ada acara besar-besaran.
Apa Alwi sedang Ulang tahun? Tapi kenapa Mamah tidak menyuruhku keluar rumah.
Aku hanya bisa menatap dari balik pagar rumah. Pandanganku tidak pernah lepas
dari rumahnya. Bi Tri, Mamah Alwi keluar sambil menangis di pundak Om Lan,
Papah Alwi. Kemudian orang orang keluar rumah dengan membopong besi hijau dan
ada bunga-bunga diatasnya. Mamah pernah bilang itu mobilnya orang meninggal.
Tapi dimana Alwi? Kenapa satu harian ini dia tidak mengajakku bermain? Padahal
sedang libur sekolah. Untuk esok dan seterusnya aku tidak pernah melihat Alwi
lagi. Dan semenjak itupula aku berhenti menangis dan menahan segala emosi ku
sendiri.
Bukankah
cinta itu seperti air hujan yang Allah turunkan untuk hambanya sebagai salah
satu bentuk nikmat yang tiada hingga. Membasahi bumi hingga menumbuhkan
bearneka tumbuh-tumbuhan sebagai kesenangan. Namun tumbuhan juga akan mengering
jua akhirnya kemudian hancur lebur tertiup angin.toh kembali ke Hukum Allah,
bahwa tiada yang abadi didunia ini, secinta apapun kita terhadap sesuatu, kita
akan kehilangannya, cepat atau lambat. Setidaknya aku diizinkan melihat senyumnya
yang selalu menyihirku. Bahkan disaat begini pun kala mengenangnya bibir ini
melengkung dengan seendirinya. Benar. Alwi tidak pernah membuatku menangis.
Kenangannya selalu membuatku ingin kembali kemasa itu.
2 tahun kemudian...
Suasana
fajar yang indah. Kuusap embun yang menempel dijendela kamarku. Diam-diam aku
berbisik pada alam, setelah sekian lamanya tidak bermesraan pada sang Maha
Penyayang disepertiga malam. Kamar bermotif taman itu tertata rapih sekali dengan hiasan lampu-lampu neon diatas ranjang
tidur. Senyaman apapun tempat tidurnya. Kamar akan selalu lebih nyaman ketika
lantunan ayat suci sering terdengar didalamnya. Kusempatkan membuka lembar demi
lembar Al-Qur’an bersampul hitam itu. Al-Qur’an itu adalah pemberian dari
seseorang yang dikenalkan Asri olehku 2 minggu yang lalu. Aku tidak pernah bisa
membuka hatiku untuk pria manapun, bahkan aku menolak untuk bertemu dengan nya.
Asri tampak kecewa melihatku yang selalu mengkaitkan masalah pria dengan masa
lalu.
“Fah...
kamu engga bisa gini terus.. jangan egois dong Fah.. kalian belum ketemu,
kenapa langsung ditolak gitu sih? Aku kasih alamat Email kamu aja yah?” Asri
menatapku kesal. “Fah... ayo dong..” bujuknya
“iyah
iyah... kasih aja alamat email ku.. lagian kenapa ngebet banget sih sri? Kenapa
engga sama kamu aja?” aku kembali fokus dengan laptop didepanku.
“yah
bukan apa-apa... wong dia maunya sama kamu. Aku kan ga bisa maksa juga Fah..
lagian kenapa kamu engga pernah bisa move on gitu dari Alwi? Mau bagaimanapun
kalian...” aku menutup mulut Sri, mengkodenya untuk tidak melanjutkan
pembicaraaannya. Asri menunduk takluk. Aku tidak pernah suka Alwi menjadi
alasan setiap masalah hatiku.
“eh
Sri, kamu yakin dia orang baik-baik? Masa beum apa-apa udah ngasih-ngasih...
norak banget tau ga sih?” konsentrasi ku hilang, kembali melanjutkan
pembicaraan yang sedikit menarik.
“Yah
jelas donk.. kamunya aja yang ga bisa
dikodein sayang...”
“baru
kenal masalahnya... “ aku merapikan jilbab yang sedikit miring.”kan kamu yang
baru kenal Fah, dia mah udah kenal lama.. lama banget malah.” Aku mengernyitkan
dahi semakin tidak mengerti arah perbincangan kami.
“lama...???
ah, namanya aja baru denger. Jebakan ni ya.. kaya sinetron aja sih dirimu.” Aku
tertawa geli sambil mencubit pipi Asri yang chubi.”lagian aku ga mau pacaran
Sri, ga ada disuruh tu dalam Al-Qur’an” kataku acuh kemudian
“yah
siapa juga yang nyuruh kamu pacaran Fah, apa salahnya juga kan silaturahim,
kalau kamu ga suka yah tinggal bilang sama orangnya” tawa cempreng Asri pecah
seketika. Aku hanya menggeleng sambil tersenyum melihat tingkahnya.”tapi sih
itu kembali lagi dikamu Fah, aku ga bisa maksa juga kan, asal jangan jadi Pertu
aja deh ya.. ahahaha”
“hushhh..
ngaco kamu nih” wajahku tegas menatapnya, Asri udah ngeloyor duluan ke kelas.
Aku
dengan Asri memang sudah dekat dari awal masuk kampus, saking seringnya bersama
kami sering dijuluki kembar. Namun kesibukan untuk menyusun skripsi dan
lain-lain menyita waktu kami untuk tidak bertemu. Sesekali kami hanya menyapa
lewat email, sms dan alat komunikasi lainnya. Dan terakhir kali ketika 1 tahun
yang lalu ia mengabari bahwa ia telah menikah. Aku bahagia mendengarnya, dia
gadis yang cantik dan baik, pastilah sangat beruntung pria yang mampu memikat
hatinya. Namun perbincangan kami terputus karena ia harus sibuk menyiapkan
persiapan pernikahannya. Aku tidak dapat ambil andil dalam pernikahannya. Hanya
do’a restu yang dapat aku berikan padanya, semoga ia bahagia dunia akhirat.
Seusai tamat dari kampus
aku langsung melanjutkan S2 di salah satu perguruan tinggi Negri di luar kota. Sa’at
itulah aku terasa bahwa kehadiran teman sangat berpengaruh besar dalam
psikologi. Aku tidak pernah berkomunikasi lagi dengan Asri. So, Aku yang
mulanya tertutup sedikit demi sedikit mulai mau curhat sama Mamah. Dua tahun
lamanya dikampung orang membuatku sangat rindu rumah, kamar, pantai, dan
hal-hal lain yang membuatku ingin pulang. Tetiba terlintas dalam fikiranku
tentang Al-Qur’an yang diberi seseorang melalui Asri untukku. Benar, aku memang
tidak pernah memperdulikannya, bahkan aku tidak ingin tahu tentangnya. Aku juga
hanya membukanya sesekali pas lagi dirumah. Karena Aku lebih suka Al-Qur’an bermotif
golden yang diberi Papah tepat aku berusia 17 tahun.
T T T
Kamar
memang tempat paling nyaman setelah
pelukan Mamah, aku membanting koper berisi baju-baju. Menimba ilmu di kampung
orang telah usai, dan kukerjakan secara baik terbukti aku telah mendapat gelar
M.Sc. Satu hal yang membuatku bangga, karena ini adalah impian kedua orang tuaku
yang diamanahkan kepadaku. Namun, selepas dari itu mereka juga ingin melihatku
bahagia dengan orang yang sangat aku cintai. Mereka khawatir aku jera jatuh
cinta. Atau tidak pernah ingin menikah karena takut kehilangan. Beberapa kali
Papah menawarkan pemuda yang secara materi atau agamanya dapet jempol. Namun,
entah mengapa hatiku berkata “tunggu!”
Ku
buka Al-Qur’an pemberian seseorang yang entah siapa namanya. “plukkk” selembar
kertas jatuh dipangkuanku, kertas sederhana dengan lipatan sederhana. Ku buka
setiap lipatannya, hatiku berdegup tak teratur. “ dari Aku yang selalu
menunggumu” kata yang cukup manis untuk kata pembuka surat.
Dear : Kamu yang selalu ku Tunggu.
Aku adalah orang yang selalu
menunggumu.
Orang biasa dari kalangan biasa, kamu
tidak pernah memperhatikanku.
Meski begitu aku tetap senang karena
aku tidak perlu menuntut untuk kamu perhatikan terus menerus.
Kamu mungkin baru membacanya
sekarang. Setelah lama kamu menerima kado pemberianku. Tak mengapa. Karena
ketika kamu membaca surat ini. Kamu sudah siap untuk berta’aruf denganku.
Aku bukan orang alim, namun aku akan
berusaha menjadi imam yang baik untuk istri dan anakku
Aku bukan orang yang bergelimang
harta, namun aku akan berusaha agar istri dan anakku dapat hidup layak.
Aku juga bukan orang yang tampan,
namun aku akan terus meperbaiki Akhlakku.
Entah mengapa ketika melihatmu di
tanggal 07 februari 2013 di pantai, membujuk siswa TK yang sedanng menangis
karena istana pasirnya kamu rusak, kamu tahu aku adalah guru mereka. Aku ingin
menghampirimu waktu itu, namun aku tahu jarak memang selalu ada untuk kita. Sehingga
aku lebih memilih mundur secara perlahan dan mengenyahkan keinginanku. 09 mei
aku sudah wisudah, saat itu aku mulai memikirkanmu kembali. Shallat istikharah
juga telah aku laksanakan, dan hatiku semakin mantab memilihmu untuk menjadi
calon istriku. Maka surat ini benar adanya, untuk sekarang pun aku tetap
menunggu jawabanmu.
Ridwan A.H (guru madrasah kamu)
TTT
Surat
Lamaran tak terduga. Aku terdiam seusai membacanya. Entah mengapa jantung mulai
mendobrak-dobrak batinku. Seakan berkata dimana gerangan. Aku mencoba menelvon
Asri. Beberapa kali baru diangkat. Aku menanyakan alamatnya sekarang. Rasanya
ingin meluapkan semua perasaanku padanya. Padahal badanku sangat capek karena
baru pulang. Namun terasa ringan ketika menuju kerumah Asri mengendarai motor. Bayang-bayang
Pak Ridwan Guru madrasahku pun terlintas begitu cepat diotakku. Dia memang
guruku perbedaan usia 3 tahun, membuatnya tidak pantas dipanggil “pak” untuk
sekarang. Bibirku melengkung seketika. Namun prasangka, jika ia sudah memilih
calon yang lain. Mengenyahkan semuanya.
Aku
mendaratkan pelukanku ke tubuh Asri yang semakin berisi. Ia tersenyum membalas
pelukanku. Rumahnya sederhana, namun tertatah rapih dengan hiasan bunga-bunga.
Asri memang piawai dalam memainkan perannya sebagai ibu rumah tangga. Kami
saling menceritakan kesibukan masing- masing setelah wisudah. Tiba-tiba
Seseorang keluar dari bilik kamar. Posturnya tinggi, ukuran pria yang tampan.
Namun, hatiku terasa sakit melihatnya. Tatapannya
tajam, tepat menancap dalam relung hati paling dalam.
“Syifah?”
Asri melambaikan tangannya dihadapanku. Menyadarkan keheninganku yang begitu
lama. Aku kikuk dihadapan mereka. Aku tidak pernah menyadari bahwa Ridwan yang
beberapa menit lalu melamarku lewat surat beberapa tahun yang lalu. dan lagi –
lagi perasaaan yang terlambat untuk diutarakan. Aku menyembunyikan semuanya,
niat untuk meluapkan perasaanku harus aku buang jauh- jauh. Aku tidak akan mema’afkan
diriku sendiri jika mendapati keegoisanku merusak rumah tangga orang lain.
“kapan
kamu nikah Fah.. jangan lama-lama jomblo loh.. bukankah menikah juga sunnah
rasul?” aku tersenyum mendengar penuturannya yang semakin lemah lembut,
sepertinya jiwa keibuan telah melekat dijiwanya.
“Belum
ada yang ngelamar Sri..” Aku tertawa geli mendengar penuturanku sendiri. Tepatnya
mendapati betapa menyedihkannya diriku yang begini.
“kalau
aku yang ngelamar gimana?” tiba-tiba suara pria menggelegar ditelingaku,
guncangan dahsyat hatipun menambah keramaian gejolak didada. Namun, anehnya
Asri malah tersenyum tulus melihat tingkahku yang kikuk begini. “A.. Pa mak sud
mu?” tanyaku terbata-bata.
“kok
apa maksudnya toh Fah, dia lagi ngelamar kamu nih, kamu mau engga??” Asri menatapku
lembut. “kamu apa-apaan sih Sri? Kamu mau dipoligami?” tegasku melihatnya iba. Mereka
tertawa. Aku terdiam. “ini bukan lelucon tau” aku beranjak dari sofa namun Asri
memelukku. “dia bukan suamiku. Dia adik suamiku.. kesini tadi nganterin anakku
yang lagi ngambek ga mau aku mandi’in. Dia selalu menanyakanmu, bahkan aku
sampai bosan mendengar curhatnya. Hehehe ma’af aku ga mau mengganggu kuliah
kamu. jadi aku berniat menceritakannya ketika kamu sampai sini. Udah jangan
nangis lagi.” Air mataku tidak berhenti, rasa apa ini? Entahlah yang pasti aku
bahagia.
Pria
tepat dihadapanku trsenyum aku membalasnya haru. Surat lamaran kilat yang
romantis.