Sabtu, 29 Juli 2017

I'll always be with you (by: Irmayani)



Image result for anime grave of the fireflies  
         

 Di halte pemberhentian Bus kota. Dari seberang terlihat anak lelaki seusia 10 tahunan sedang duduk sembari mengungkang-ungkang kakinya. sandal jepit merk swallow berwarna coklat kehitaman dengan beberapa irisan disampingnya. Talinya sudah diganti dengan tali ban. Entahlah, mungkin usia sandal itu sudah lebih tua dari usianya. Ia memungutnya ketika sedang mencari sisa makanan di depan toko grosir. bersiul-siul memainkan not sesuka hatinya. bersenandung ria dikeramaian kota merupakan hiburan tersendiri baginya.
            Ia kembali melangkahkan kakinya ke arah barat. Menyambangi warung-warung nasi padang. Bukan untuk beli sebungkus nasi, atau ngamen dengan suara merdunya. Anak lelaki itu kembali menjajahkan hasil sisa jualannya hingga maghrib. Hari ini rezeki sedang berpihak padanya. Jualannya habis hanya tinggal beberapa batang rokok yang tersisa. Untuk ukuran penjual asongan sepertinya itu sudah dapat mengganjal perutnya selama 3 hari.
            Maghrib telah tiba. Amir hanya mengenal waktu ketika adzan saja. Itupun karena ayah yang mengajarkannya. Ketika subuh ia harus bangun dan bergegas mengais makanan sisa semalam, dzuhur ia kembali kerumah untuk mengecheck adiknya yang masih kecil, ashar ia haarus sudah mencari ibu bapaknya, dan maghrib mereka harus sudah kumpul didalam rumah berdindingkan antara pagar rumah gedongan dengan pagar Hotel Cambridge.
            Tapi belum sempat mengajari semuanya, bapak dan Mamak Amir sudah digondol satpol PP ketika sedang mengemis di lampu merah depan Masjid Raya. Wajah bocah malang itu bingung ketika para pengamen, pengemis pada berlarian. Bahkan kaki yang dibalut perban, digunting paksa agar ia lebih mudah melarikan diri. Yah, beginilah.. demi mencukupi kebutuhan hidup banyak cara yang dilakukan orang untuk mengandalkan rasa iba orang dermawan.
            “Amir.....!! tangkap ini...” Mamak melempar plastik asoy hitam kearahnya. “jaga dedek... mamak pasti pulang.. hussshhh cepet lariii” mamak mengibaskan tangannya kepayahan. Sebelum amir sempat mengejar, mamak sudah pergi jauh bersama para pengemis lainnya.
            Mamak sudah tertangkap, semoga bapak bisa lolos dari mereka. Begitu lirih Amir dipinggir trotoar jalan depan istana Maimun. Samar-samar Amir melihat bapak tua menggeret kakinya dengan bersimbah darah. Lukanya sudah sangat parah. Beliau pasti salah satu orang yang lolos dari kejaran satpol PP. Melihat pakaianku compang-camping sepertinya, beliau duduk disisiku untuk beristirahat sejenak.
            “mau kemana pak?” tanyaku sejurus kemudian
            “kemana aja, asal enggak ketangkep” katanya dengan nafas terengah-engah.
            “bapak ngemis dimana?”tanyaku tanpa melihat kearahnya lagi.
            “di Yuki.” Katanya cepat sebelum ia bergegas pergi, Amir teringat bahwa Bapaknya juga ngemis ditempat yang sama.
            “bapak kenal sama pak Dedi?” nama Bapak memang tidak sekeren nasibnya.
            “siapa itu?? Dia cacat apa?”
            “tangan buntung” Amir menelan ludah paksa, ia tidak pernah berfikir bahwa nama keren bapaknya harus diganti dengan nama cacat. Tentu saja cacat bapak tidak permanen, ia membuatnya untuk menarik simpati orang-orang berduit.
            “oh... tangan buntung udah di geret petugas. sama si kakek buta.” Katanya mencoba mengingat.
            “gitu ya pak.. kapan mereka bisa dibebaskan?” Amir menahan air mata untuk tidak menangis, membayangkan hari-hari berikutnya hanya berdua bersama Awan yang masih kecil.
            “hahahahaha...” beliau tertawa. Amir heran, tidak ada kalimat lucu yang ia lontarkan. “bisa jadi 5 tahun atau lebih, kalok kamu mau cepet yoo tebus aja bapak mu.” Katanya kemudian
            “berapa kira-kira untuk nebus bapak sama mamak?” mendengar pertanyaan Amir, lelaki paruh baya itu kini memandang iba pada bocah malang itu. “mungkin 10 juta.”
            “terima kasih pak.” baju compang-camping yang ia kenakan, dililitkan ke kaki lelaki paruh baya disampingnya yang sedang bersimbah darah. “bajunya untuk bapak aja.” Amir berlari disepanjang trotoar Istana Maimun kearah Hotel Cambridge.
            Kendaraan lalu lalang, lampu neon menyambar-nyambar kemata anak lelaki yang hanya mengenakan celana jeans selutut. Potongannya tidak rata, itu bekas celana panjangnya yang kekecilan. terus berlari melewati beberapa toko, sumpah serapah terlontar dari orang-orang yang ia tabrak. Tidak meminta maaf, ia hanya terus berlari. Menjadi kijang kota, tapak kakinya bahkan kebal oleh kerikil-kerikil tajam, sudah menjadi kawan baginya. Sesekali tubuhnya terpental oleh bunyi suara klakson. supir-supir angkot pun ikut mengutuknya.
            “Abang....” bocah 3tahun langsung menghampiri Amir dengan wajah berseri-seri. Mata bundarnya mengerjap-ngerjap indah, seolah ia akan dapat makanan lezat hari ini. Persis seperti kucing liar, ia terus membuntuti Amir kemanapun ia pergi. Amir mengambil piring dari dalam kardus bekas Mie Instan yang disulap Sebagai ganti rak piring.
            “yeeeeee makan nasi pake telull” Awan bersorak-sorak girang ketika membuka nasi yang dibungkus kertas itu.
            “loh kok diem... yaudah dimakan nasinya dek” Amir menatap adiknya sendu
            “Bapak sama mamak belum pulang” bocah berambut gondrong memandangi pintu berharap Bapak dan mamaknya segera pulang, perutnya sudah sangat lapar.
            “gakpapa, kata Bapak kita suruh makan duluan” Amir menyuapi Adiknya takzim. “gausah nangis, Bapak enggak akan marah. Nanti Abang yang bilang” Amir meyakinkan.
            Langit menggulung-gulung, beberapa bintang muncul dan hilang bergantian. Nyanyian katak membumbuhi sedih sedannya ditinggal kedua orang tua. Awan sudah tidur, hari ini ia makan lahap sekali, nasi bungkus yang biasanya dibagi dua dengan Amir, dimakannya seorang diri. Mamak memberikan uang recehan yang dibungkusnya dengan asoy berwarna hitam. Ada 4  lembar uang 5 ribuan dan 7 lembar uang 2 ribuan, sisanya uang lima ratusan dan dua ratusan. Untuk membeli nasi bungkus tadi ia mengeluarkan dua uang 5 ribuan.
            Amir menatap langit lekat sekali. Merancang apa yang akan ia lakukan besok bersama Awan. Mengamen? Atau mengemis berdua. Memakaikan Awan peci koplo yang sudah sobek-sobek miliknya saat mamak mengajaknya mengemis dulu.
            Ah... apa kabar mamak dan bapak dipenjara ya? Apa mereka makan enak? Tidak kehujanan? Setidaknya penjara lebih nyaman daripada lorong yang diapit dua dinding. Antara rumah gedongan dengan pagar Hotel Cambridge.
            “Abang.... ikuttttt” Awan menarik-narik baju Amir. Matanya berkaca-kaca penuh pengharapan. “jangan... Awan disini aja, nanti abang belikan nasi sama telur bulat” Amir membuka kotak box, beberapa diantaranya sisa rokok semalam. Awan masih terlalu kecil untuk dibawa kejalanan. Tapi bocah yang hanya bersinglet putih lecek itu terus bmembuntutinya.
            “yaudah, pake ini” Amir memakaikan peci Koplonya yang sudah sobek-sobek.
            “kamu bawak apa?” Awan meringis bahagia sambil membawa plastik bekas makanan ringan yang dibalik. “Bang... mintak duit?” Awan memainkan wajah sedihnya dihadapan Amir. Memperagakan cara Mamak dan Bapaknya mengemis. Kemudian duduk bersimpuh dibawah kaki Amir. “ moga dimulahkan lezekinya...”. tawa merekah dibibir keduanya. Bersiap-siap memainkan peran.
            “A, B, C, D, E , Ep,G, H,I, J, K, L, M ,N,O...mmm mmm mmmm mmm mmm” Awan terus bernyanyi abjad yang belum sempurna. ini kali pertamanya ia diajak kejalanan. Melihat teman-teman sebayanya digandeng erat oleh mamak mereka.Ia tidak sabar menyodorkan plastik bekas bungkus jajan kearah ibu-ibu atau bapak-bapak yang pakaian rapi.
            Keduanya terus bergandengan tangan disepanjang perjalanan. Sembari menjajahkan minuman dan rokok pada kernek-kernek maupun supir angkot yang berhenti di lampu merah. “rokok pak... minumannya??” Amir mengangkat minuman mineral tinggi-tinggi agar terlihat. “lokok pak... minumannya??” suara lembut mengikutinya. Dua super hero cilik beraksi dikeramaian jalanan.
            “ya Allah dek... manalah orang tua kalian, masik kecil kok udah disuruh kerja” kata wanita paruh baya yang kebetulan melintas didepan mereka. Entah, simpati atau hanya iba. beliau hanya berlalu setelah mengatakan itu. Awan meremas-remas singletnya, perutnya terus menagih sesuatu yang harus dimakannya.
            “eh... ucok... mintak dulu rokokmu sebatang!” bentak seorang kernek dari dalam angkot. “udah habis bang!” tukasnya berbohong. Ia sudah hafal mana yang mau bayar mana yang meminta secara paksa. Dunia ini terlalu kejam untuk anak seusianya.
            Amir menarik lengan awan cepat, nyelonong saja tanpa memperdulikan lampu sudah berganti hijau. Dari simpang ke simpang lainnya,, begitulah rutenya. Tangisan Awan menghentikan langkah Amir yang buru-buru.
            “kenapa dek?” katanya menyadari Awan sudah berderai air mata.
            “lapel...” suaranya samar, antara takut dan kelaparan.
            “nanti dulu ya... kita kesimpang sana dulu,, nanti abang belikan nasi sama telur” tukasnya dengan seulas senyuman. Namun bocah malang itu tetap meringkuk, jemarinya meremas kuat-kuat kaus usangnya.
            Amir tak tega lama-lama melihat bocah dihadapannya, sudah jam 11. Mereka belum menelan sebutir nasi pun sejak pagi. Tangannya tergerak merogo isi asoy hitam lecek di Box tempat beberapa rokok dan minuman. Ada uang 2 ribuan 9 lembar, cukup untuk membeli nasi dan telur, jika terus-terusan begini ia tidak bisa membeli rokok untuk dijual lagi. Acek ahkan sudah tidak percaya untuk menghutanginya lagi. Melihat Awan begini, tidak ada pilihan lain.
            “yaudah yok... kita beli sekarang. Jangan nangis lagi ya” Amir mengusap air mata yang membumbuhi mata leci dengan bulu mata lentik nan indah. Kulit Awan dan Amir memang memiliki warna yang nyaris berlainan. Amir lebih mewarisi gen yang dibawa oleh Bapaknya sedangkan Awan beruntung memiliki kulit putih seperti mamaknya.meski kumal, Awan masih terlihat menyenangkan mata yang memandangnya
            Diteras ruko kosong, Amir dan adiknya menyantap nasi bungkus yang hanya berisi nasi dan telur mata sapi tanpa embel-embel sayur maupun kuah. Menyantap hingga habis, tanpa sisa. Keduanya kembali kejalanan yang tengah ramai, melewati toko-toko kaca, sekolah-sekolah high class, bahkan ada TK yang siswanya sudah diajarkan bahasa Inggris dengan fasih.   

 Bersambung..

cerita ini terinspirasi dari anime Grave Of The Fireflies.. 
kalian coba deh tonton atau sekedar baca sinopsis ceritanya, seriuss.... aku dua kali nonton daaannnn setiap adegan adiknya makan  bola tanah yang ditusuk-tusuk jadi bakso, karena saking ga punya duitnya untuk beli makanan. yah Allah disituuu banjir air mataku. beneran! . and kalian tau guys.... adeknya selalu setia nunggu abangnya pulang tanpa menuntut apapun.  mereka ga pnya rumah, tidur dibawah rumah tanah tempat perlindungan orang Jepang dulu pas dijajah. 
pokoknya intinya gitu deh, kalian wajib nonton! gaenak aku harus jadi spoiler kalian terus ^^.

bye.... see you soon. semoga makin menghormati kakaknya bagi yang adek, dan untuk kakaknya semoga semakin cinta sama adeknya.

okedeh guys.... segini dulu, nanti kalau udah moodnya balik aku bakal lanjutin. kalau enggak... yaaaaaahhhh tunggu aja sampe moodbooster aku ada hahahahaha.
wassalamualaikum ~

PART 2 (Membungkus Rindu)






Kecupan Bapak dan Mama buru-buru mendarat sebelum Zahra berkumpul dengan rombongan satu angkatannya. Lambaian tangan keduanya mengiringi langkah Zahra yang kian menjauh. Namun hati mereka tidak, Zahra tetap menjadi penguasa cinta dihati keduanya, meski tidak jarang anak perempuan satu-satunya itu membuat hati was-was karena kecerobohannya.
“ya Ampun Ra, rempong amat sih bawaan kamu” celetuk salah seorang gadis anggun disampingnya.
“hehehehe persiapan tempur” Zahra nyengir kuda mengetahui betapa repotnya dia.
Bu Habsah selaku guru pembimbing SM3T, memberi berpatah-patah arahan yang akan dijalankan ketika sudah sampai tujuan. Agar mahasiswanya tidak seperti ayam yang baru dikeluarkan dari kandang, berpencar-pencar tidak tahu harus ngapain. Zahra menyimak dengan seksama, karena ia sadar. Ia harus memulai semuanya sendiri. Tidak ada lagi rengekan dengan sebutan kata “Ma....” didepannya. Ia juga harus ekstra jaga diri, meski kondisi fisik Zahra tidak tergolong rendahan. Ada hal lain yang harus ia pertahankan. Lebih vital dibanding organ dalamnya. Itu adalah Keimanan.
“Hai Ra... aku duduk disini ya?” belum juga Zahra meng-ia kan wanita berambut panjang sebahu itu sudah meletakkan jaketnya tepat dikursi samping Zahra, Maria adalah teman sekelas Zahra, wajahnya manis dengan rambut lurus yang tergerai indah dimainkan angin. Tutur katanya yang lemah lembut menambah kesempurnaan selayaknya wanita. Namun, meski begitu Zahra tidak terlalu dekat dengannya, ada pembatas diantara mereka. Benang merah religius mengantarkan keduanya untuk kembali keagama masing-masing. Maria adalah wanita yang berkeyakinan kuat, wanita religius namun dengan sudut pandang yang bertolak belakang dengan Zahra, Maria penganut Agama Kristen taat. Terlihat dari caranya berdo’a sebelum belajar dan makan.
Usai meletakkan barang-barang, Maria segera duduk disisi Zahra. Berdo’a dengan khidmad. Zahra masih menunggu. “Zahra... aku takut” Zahra dapat merasakan ketakutan Maria dengan genggamannya yang begitu erat mencengkram pergelangan tangan Zahra. “enggak papa yang penting kita kan udah berdo’a, urusan takdir kita selamat atau enggak itu urusan Allah” Zahra mengingat petuah yang pernah diberikan oleh salah satu guru ngajinya semasa Ibtidaiyah. “ jadi kau enggak takut kalau kita mati?” katanya sejurus kemudian, wajahnya mulai menyiratkan ketidak yakinan “insyaAllah enggak, kan niat kita mau berjuang dijalan Allah, memberi sesuatu yang bermanfaat bagi saudara-saudara kita yang kekurangan ilmu pengetahuan. Allah udah janjiin barang siapa yang berjuang dijalan Allah, ketika ia mati, maka ia mati syahid. Nah orang yang mati syahid itu, dijamin masuk Syurga. Jadi, nagapain takut.” Kali ini, bukan perkataan guru manapun yang ia dengar, tapi dari seseorang reporter yang akan dikirim ke Palestina untuk mencari berita.
Maria melepaskan cengkramannya, melampiaskannya pada jaket dipelukannya. “udah... jangan takut, insyaAllah selamat” senyumnya menggulum menciptakan lesung pipi yang teramat manis.
Zahra merogo isi tas kecil yang duduk manis dipangkuannya. Headset masih mencolok di Android bermotiv hello kitty kesukaannya. Menggeser-geser foto koleksi di gallery, tidak banyak foto yang iya punya, beberapa screenshot dari instagram dan foto-foto kenangan yang ia unggah dari akun facebooknya. Foto-foto itu seakan merangkai cerita dari masa kemasa, awal mula menoreh tinta bertuliskan cinta. Menjejal asam manis masa  remaja dengan pola tingkah beraneka rupa. Diamati jajaran anak sekolah berjas hitam dengan seorang guru ditengah-tengahnya. Membanding-bandingkan dengan wajah mereka sekarang yang hampir tua. Ah, terlalu sadis jika dibilang tua. Namun ada satu senyum yang menarik perhatian sedari tadi, seperti ingin diperhatikan secara intens. Garis-garis wajahnya mendeskripsikan tentang kepribadian yang kuat dan bersahaja tatapannya tajam tepat mengenai sasaran. Bibir tipisnya melengkung, menegaskan bahwa ia sedang bahagia. senyum Zahra merekah dengan sendirinya. Malu karena mendapati diri tersenyum pada benda mati ditangannya itu. 

Bersambung..


 

maaf yaaaahhhh baru bisa update lagiiii ^^
efek yang nulis amatiran kali yak.... :D

PART 2 nya singkat banget kaaannn... 
sekali lagi maafkeun yak nyihihihihi ^^ *ketawak apaan sih ga jelas banget.