Di halte pemberhentian Bus kota.
Dari seberang terlihat anak lelaki seusia 10 tahunan sedang duduk sembari
mengungkang-ungkang kakinya. sandal jepit merk swallow berwarna coklat kehitaman dengan beberapa irisan
disampingnya. Talinya sudah diganti dengan tali ban. Entahlah, mungkin usia
sandal itu sudah lebih tua dari usianya. Ia memungutnya ketika sedang mencari
sisa makanan di depan toko grosir. bersiul-siul memainkan not sesuka hatinya.
bersenandung ria dikeramaian kota merupakan hiburan tersendiri baginya.
Ia kembali melangkahkan kakinya ke
arah barat. Menyambangi warung-warung nasi padang. Bukan untuk beli sebungkus
nasi, atau ngamen dengan suara merdunya. Anak lelaki itu kembali menjajahkan
hasil sisa jualannya hingga maghrib. Hari ini rezeki sedang berpihak padanya.
Jualannya habis hanya tinggal beberapa batang rokok yang tersisa. Untuk ukuran
penjual asongan sepertinya itu sudah dapat mengganjal perutnya selama 3 hari.
Maghrib telah tiba. Amir hanya
mengenal waktu ketika adzan saja. Itupun karena ayah yang mengajarkannya.
Ketika subuh ia harus bangun dan bergegas mengais makanan sisa semalam, dzuhur
ia kembali kerumah untuk mengecheck adiknya yang masih kecil, ashar ia haarus
sudah mencari ibu bapaknya, dan maghrib mereka harus sudah kumpul didalam rumah
berdindingkan antara pagar rumah gedongan dengan pagar Hotel Cambridge.
Tapi belum sempat mengajari
semuanya, bapak dan Mamak Amir sudah digondol satpol PP ketika sedang mengemis
di lampu merah depan Masjid Raya. Wajah bocah malang itu bingung ketika para
pengamen, pengemis pada berlarian. Bahkan kaki yang dibalut perban, digunting
paksa agar ia lebih mudah melarikan diri. Yah, beginilah.. demi mencukupi
kebutuhan hidup banyak cara yang dilakukan orang untuk mengandalkan rasa iba
orang dermawan.
“Amir.....!! tangkap ini...” Mamak
melempar plastik asoy hitam kearahnya. “jaga dedek... mamak pasti pulang..
hussshhh cepet lariii” mamak mengibaskan tangannya kepayahan. Sebelum amir
sempat mengejar, mamak sudah pergi jauh bersama para pengemis lainnya.
Mamak sudah tertangkap, semoga bapak
bisa lolos dari mereka. Begitu lirih Amir dipinggir trotoar jalan depan istana
Maimun. Samar-samar Amir melihat bapak tua menggeret kakinya dengan bersimbah
darah. Lukanya sudah sangat parah. Beliau pasti salah satu orang yang lolos
dari kejaran satpol PP. Melihat pakaianku compang-camping sepertinya, beliau
duduk disisiku untuk beristirahat sejenak.
“mau kemana pak?” tanyaku sejurus
kemudian
“kemana aja, asal enggak ketangkep”
katanya dengan nafas terengah-engah.
“bapak ngemis dimana?”tanyaku tanpa
melihat kearahnya lagi.
“di Yuki.” Katanya cepat sebelum ia
bergegas pergi, Amir teringat bahwa Bapaknya juga ngemis ditempat yang sama.
“bapak kenal sama pak Dedi?” nama
Bapak memang tidak sekeren nasibnya.
“siapa itu?? Dia cacat apa?”
“tangan buntung” Amir menelan ludah
paksa, ia tidak pernah berfikir bahwa nama keren bapaknya harus diganti dengan
nama cacat. Tentu saja cacat bapak tidak permanen, ia membuatnya untuk menarik
simpati orang-orang berduit.
“oh... tangan buntung udah di geret
petugas. sama si kakek buta.” Katanya mencoba mengingat.
“gitu ya pak.. kapan mereka bisa
dibebaskan?” Amir menahan air mata untuk tidak menangis, membayangkan hari-hari
berikutnya hanya berdua bersama Awan yang masih kecil.
“hahahahaha...” beliau tertawa. Amir
heran, tidak ada kalimat lucu yang ia lontarkan. “bisa jadi 5 tahun atau lebih,
kalok kamu mau cepet yoo tebus aja bapak mu.” Katanya kemudian
“berapa kira-kira untuk nebus bapak
sama mamak?” mendengar pertanyaan Amir, lelaki paruh baya itu kini memandang
iba pada bocah malang itu. “mungkin 10 juta.”
“terima kasih pak.” baju
compang-camping yang ia kenakan, dililitkan ke kaki lelaki paruh baya
disampingnya yang sedang bersimbah darah. “bajunya untuk bapak aja.” Amir
berlari disepanjang trotoar Istana Maimun kearah Hotel Cambridge.
Kendaraan lalu lalang, lampu neon
menyambar-nyambar kemata anak lelaki yang hanya mengenakan celana jeans
selutut. Potongannya tidak rata, itu bekas celana panjangnya yang kekecilan.
terus berlari melewati beberapa toko, sumpah serapah terlontar dari orang-orang
yang ia tabrak. Tidak meminta maaf, ia hanya terus berlari. Menjadi kijang
kota, tapak kakinya bahkan kebal oleh kerikil-kerikil tajam, sudah menjadi
kawan baginya. Sesekali tubuhnya terpental oleh bunyi suara klakson.
supir-supir angkot pun ikut mengutuknya.
“Abang....” bocah 3tahun langsung
menghampiri Amir dengan wajah berseri-seri. Mata bundarnya mengerjap-ngerjap
indah, seolah ia akan dapat makanan lezat hari ini. Persis seperti kucing liar,
ia terus membuntuti Amir kemanapun ia pergi. Amir mengambil piring dari dalam
kardus bekas Mie Instan yang disulap Sebagai ganti rak piring.
“yeeeeee makan nasi pake telull”
Awan bersorak-sorak girang ketika membuka nasi yang dibungkus kertas itu.
“loh kok diem... yaudah dimakan
nasinya dek” Amir menatap adiknya sendu
“Bapak sama mamak belum pulang”
bocah berambut gondrong memandangi pintu berharap Bapak dan mamaknya segera
pulang, perutnya sudah sangat lapar.
“gakpapa, kata Bapak kita suruh makan
duluan” Amir menyuapi Adiknya takzim. “gausah nangis, Bapak enggak akan marah.
Nanti Abang yang bilang” Amir meyakinkan.
Langit menggulung-gulung, beberapa
bintang muncul dan hilang bergantian. Nyanyian katak membumbuhi sedih sedannya
ditinggal kedua orang tua. Awan sudah tidur, hari ini ia makan lahap sekali,
nasi bungkus yang biasanya dibagi dua dengan Amir, dimakannya seorang diri.
Mamak memberikan uang recehan yang dibungkusnya dengan asoy berwarna hitam. Ada
4 lembar uang 5 ribuan dan 7 lembar uang
2 ribuan, sisanya uang lima ratusan dan dua ratusan. Untuk membeli nasi bungkus
tadi ia mengeluarkan dua uang 5 ribuan.
Amir menatap langit lekat sekali.
Merancang apa yang akan ia lakukan besok bersama Awan. Mengamen? Atau mengemis
berdua. Memakaikan Awan peci koplo yang sudah sobek-sobek miliknya saat mamak
mengajaknya mengemis dulu.
Ah... apa kabar mamak dan bapak
dipenjara ya? Apa mereka makan enak? Tidak kehujanan? Setidaknya penjara lebih
nyaman daripada lorong yang diapit dua dinding. Antara rumah gedongan dengan
pagar Hotel Cambridge.
“Abang.... ikuttttt” Awan
menarik-narik baju Amir. Matanya berkaca-kaca penuh pengharapan. “jangan...
Awan disini aja, nanti abang belikan nasi sama telur bulat” Amir membuka kotak
box, beberapa diantaranya sisa rokok semalam. Awan masih terlalu kecil untuk
dibawa kejalanan. Tapi bocah yang hanya bersinglet putih lecek itu terus bmembuntutinya.
“yaudah, pake ini” Amir memakaikan
peci Koplonya yang sudah sobek-sobek.
“kamu bawak apa?” Awan meringis
bahagia sambil membawa plastik bekas makanan ringan yang dibalik. “Bang...
mintak duit?” Awan memainkan wajah sedihnya dihadapan Amir. Memperagakan cara
Mamak dan Bapaknya mengemis. Kemudian duduk bersimpuh dibawah kaki Amir. “ moga
dimulahkan lezekinya...”. tawa merekah dibibir keduanya. Bersiap-siap memainkan
peran.
“A, B, C, D, E , Ep,G, H,I, J, K, L,
M ,N,O...mmm mmm mmmm mmm mmm” Awan terus bernyanyi abjad yang belum sempurna.
ini kali pertamanya ia diajak kejalanan. Melihat teman-teman sebayanya digandeng
erat oleh mamak mereka.Ia tidak sabar menyodorkan plastik bekas bungkus jajan
kearah ibu-ibu atau bapak-bapak yang pakaian rapi.
Keduanya terus bergandengan tangan
disepanjang perjalanan. Sembari menjajahkan minuman dan rokok pada
kernek-kernek maupun supir angkot yang berhenti di lampu merah. “rokok pak...
minumannya??” Amir mengangkat minuman mineral tinggi-tinggi agar terlihat.
“lokok pak... minumannya??” suara lembut mengikutinya. Dua super hero cilik
beraksi dikeramaian jalanan.
“ya Allah dek... manalah orang tua
kalian, masik kecil kok udah disuruh kerja” kata wanita paruh baya yang
kebetulan melintas didepan mereka. Entah, simpati atau hanya iba. beliau hanya
berlalu setelah mengatakan itu. Awan meremas-remas singletnya, perutnya terus
menagih sesuatu yang harus dimakannya.
“eh... ucok... mintak dulu rokokmu
sebatang!” bentak seorang kernek dari dalam angkot. “udah habis bang!” tukasnya
berbohong. Ia sudah hafal mana yang mau bayar mana yang meminta secara paksa.
Dunia ini terlalu kejam untuk anak seusianya.
Amir menarik lengan awan cepat,
nyelonong saja tanpa memperdulikan lampu sudah berganti hijau. Dari simpang ke
simpang lainnya,, begitulah rutenya. Tangisan Awan menghentikan langkah Amir
yang buru-buru.
“kenapa dek?” katanya menyadari Awan
sudah berderai air mata.
“lapel...” suaranya samar, antara
takut dan kelaparan.
“nanti dulu ya... kita kesimpang
sana dulu,, nanti abang belikan nasi sama telur” tukasnya dengan seulas
senyuman. Namun bocah malang itu tetap meringkuk, jemarinya meremas kuat-kuat
kaus usangnya.
Amir tak tega lama-lama melihat
bocah dihadapannya, sudah jam 11. Mereka belum menelan sebutir nasi pun sejak
pagi. Tangannya tergerak merogo isi asoy hitam lecek di Box tempat beberapa
rokok dan minuman. Ada uang 2 ribuan 9 lembar, cukup untuk membeli nasi dan
telur, jika terus-terusan begini ia tidak bisa membeli rokok untuk dijual lagi.
Acek ahkan sudah tidak percaya untuk menghutanginya lagi. Melihat Awan begini,
tidak ada pilihan lain.
“yaudah yok... kita beli sekarang.
Jangan nangis lagi ya” Amir mengusap air mata yang membumbuhi mata leci dengan
bulu mata lentik nan indah. Kulit Awan dan Amir memang memiliki warna yang
nyaris berlainan. Amir lebih mewarisi gen yang dibawa oleh Bapaknya sedangkan
Awan beruntung memiliki kulit putih seperti mamaknya.meski kumal, Awan masih
terlihat menyenangkan mata yang memandangnya
Diteras ruko kosong, Amir dan
adiknya menyantap nasi bungkus yang hanya berisi nasi dan telur mata sapi tanpa
embel-embel sayur maupun kuah. Menyantap hingga habis, tanpa sisa. Keduanya
kembali kejalanan yang tengah ramai, melewati toko-toko kaca, sekolah-sekolah high class, bahkan ada TK yang siswanya
sudah diajarkan bahasa Inggris dengan fasih.
Bersambung..
cerita ini terinspirasi dari anime Grave Of The Fireflies..
kalian coba deh tonton atau sekedar baca sinopsis ceritanya, seriuss.... aku dua kali nonton daaannnn setiap adegan adiknya makan bola tanah yang ditusuk-tusuk jadi bakso, karena saking ga punya duitnya untuk beli makanan. yah Allah disituuu banjir air mataku. beneran! . and kalian tau guys.... adeknya selalu setia nunggu abangnya pulang tanpa menuntut apapun. mereka ga pnya rumah, tidur dibawah rumah tanah tempat perlindungan orang Jepang dulu pas dijajah.
pokoknya intinya gitu deh, kalian wajib nonton! gaenak aku harus jadi spoiler kalian terus ^^.
bye.... see you soon. semoga makin menghormati kakaknya bagi yang adek, dan untuk kakaknya semoga semakin cinta sama adeknya.
okedeh guys.... segini dulu, nanti kalau udah moodnya balik aku bakal lanjutin. kalau enggak... yaaaaaahhhh tunggu aja sampe moodbooster aku ada hahahahaha.
wassalamualaikum ~