OH
WAIT!
Di
semenanjung pantai barat. Aku ingat pernah menulis namamu disana. Berharap
angin menyampaikannya padamu yang kala itu entah dibelahan bumi mana. Ku fikir
bahwa kelak aku akan bertemu dengan mu disini. Ibarat radar, angin pantai punya
energi lebih untuk melakukan itu. Jika pun tidak, aku sudah merencanakan kelak
kita membawa anak-anak kita kesini, bermain kejar-kejaran atau hanya sekedar
bercengkrama ria. Melepas penat usai bekerja dan sekolah. Menjadi sandaran yang
empuk sewaktu-waktu kepalamu membutuhkannya. Atau kau kah yang bersedia
membaginya untukku yang terlalu lelah seharian merindumu kala bekerja?.
Kian hari aku percaya. Bahwa kau terlalu jauh untuk
menjangkau radarnya. Atau memang angin yang tidak amanah. Kurasa tidak, karena
memang bukan itulah tugasnya. Untuk apa pula. Dia bekerja untuk mengantarkan
ombak kembali ke laut.udah itu saja.
Aku ingat kata para pujangga. Bahwa jodoh akan tiba diwaktu yang tepat. Tapi sayang para pujangga
dahulu tidak menyambung syairnya, tidak dijelaskan kapan waktu yang tepat itu.
Apa patokannya agar menjadi waktu yang tepat. Bagaimana karakteristiknya.
Seharusnya para pujangga mempunyai kode etik juga dalam penulisannya. Tidak
menggantungkan para pembaca yang sedang tergila-gila ingin jatuh cinta. Menunggu
tidak sebercanda itu.
“Ref... bulan depan dateng ya.. keacara lamaran ku sama
Aldy.” Seseorang tiba-tiba muncul dari belakang.
“kamu nikah wi??? Kok bisa?? Kenapa buru-buru?” aku
meletakkan helm di stang motor yang sengaja ku parkirkan agak jauh dari
motor-motor yang lain.
“pertanyaan macam apa itu Ref.. sahabatmu mau nikah lo
nih.. selamat kek, SaMaWa kek.. apa kek.. yahhhh layaknya orang dapet berita seneng..”
wanita yang sedang berdiri tepat dihadapanku memanyunkan bibirnya. Memakai
jilbab hitam dengan bordiran bunga di pinggirnya membuat pipinya lebih tirusan
dibanding aslinya. Namun tetap anggun karena dipadankan dengan baju gamis polos
berwarna pink, selaras dengan bunga-bunganya. Perfectly.
“eitdah.. malah diem. 15 tahun kita berteman dan hanya
dalam waktu 4 tahun kita berpisah, aku kudu belajar dari awal untuk kenal
karakter kamu lagi yah Ref.” Wanita yang tingginya sebahuku menggeleng
patah-patah tanda kecewa. Mataku mencari matanya. Menatapnya begitu khidmat.
Seingatku dahulu dia paling anti dengan make up dan sejenisnya. Bibir mungilnya
yang kemerah-merahan sebagai bukti bahwa ia sudah menjadi wanita
seutuhnya.
“Ref... jangan bodoh. Dia udah mau nikah. Dan kau malah
terpesona. Selabil inikah perasaanmu?. Hati-hati cinta ini digandrungi pihak
ketiga bernama hantu blau, hantu ujala, atau hantu apalah yang bisa mencerahkan
pakaian. Garis besar pakaian bukan perasaan”
“oiiiii Ref,.. ngelamun mulu ih, gak seru ah.. padahal
disempet-sempetin dateng kesini biar bisa share banyak hal. Tapi kayaknya aku
salah orang” wanita bernama asli Dwi Zulaikha itu berusaha meninggalkannya.
Namun kerinduannya terhadap teman yang selama 15 san tahun bersama tidak
menggerakkan langkahnya.
Melihatnya kembali, sambil memanyunkan bibirnya. Menjadi
pemandangan indah tersendiri. Namun segera ku tampikkan perasaan yang entah
bernama apa ini. Dalam hitungan detik mampu menggemparkan hati. Haruskah ku
nodai cinta pertama ini dengannya yang telah resmi akan tunangan bulan depan.
Sedangkan aku untuk jujur saja sangat sulit. Bagi sebagian wanita, mereka akan
lebih dihargai ketika benar-benar diperjuangkan. Yap, salah satunya adalah
menjaminnya untuk menikah bukan pacaran. Dan aku yakin benar bahwa Dwi masih
wanita meski rada kelaki-lakian.
“sejak kapan kamu pakaia jilbab gini?” aku mencoba
menghibur dirinya.
“sejak kenal calon aku..” katanya. Seolah ingin
mengatakan, “biar bisa jadi istri soleha untuknya”
“wah.. hijrahnya
gak Lillahi ta’ala nih”
“yeeeee semua kan kudu ada proses.” Kilahnya. “emang lu
gak pernah hijrah, malu noh sama umur.” Sambungnya.
“tenang... aku bakal hijrah kalo udah nemu calon jugak.”sahutku
ngasal.
“yang bilang lebihhh lebihhh lebihhh enggak lillahi
Ta’ala..” Balasnya.
“orang mana calonmu? Heran yah... di Moment bahagia
bisa-bisanya enggak inget sama kawan sendiri.” Kataku mengalihkan pembahasan.
“orang Semarang.. resiko orang merantau nih hehehe”
“yahelah.. ada yang kemakan omongan sendiri. Kayaknya
dulu ada yang bilang mau cari yang deket-deket aja hahaha.”
“maaf bosss... udah ga jaman cari yang deket-deket. Gak
berkembang entar hahaha”
Aku
mengulas senyum mendengarnya. Yah, dari beberapa ekspresi entah kenapa harus
senyum yang kupilih. Sungguh aku sedang menghianati diriku sendiri kali ini. Inipun
sudah sangat sulit sekali melakukannya. Oh Allah... jatuh cintakan aku pada
jodohku saja.
SEKIAN