Kamis, 02 Maret 2017

Aku Anak Desa (by: Irmayani)



AKU ANAK DESA







            Ada banyak hal didunia ini yang tidak bisa kamu hitung melalui rumus Matematika, tidak bisa terbaca jelas menggunakan EYD yang benar, tidak bisa dicampur adukkan dengan Kuasa Tuhanmu, dan banyak hal Lain yang tidak bisa kamu terka-terka wujudnya. Rahasia. Aku ingin memberi tahumu sedikit Rahasia, tentang diriku juga duniaku. Namaku Alen tinggal didesa yang jauh sekali dari kata Korupsi, suap, dan hingar-bingar kota yang katanya indah. Aku tidak pernah malu mengakui bahwa aku anak desa, bagiku ini adalah suatu kebanggaan yang Luar biasa. Batang-batang pohon kelapa menjadi saksi perjalanan panjang kami, jurang dengan kedalaman lebih kurang 15 m siap menelan anak manusia yang dihatinya sudah hilang rasa takut. tak perlu dibayangkan, aku belum menceritakan semuanya.
Selesai Shalat shubuh berjamaah bersama Bapak dan emak, aku langsung memakai sepatuku yang masih kebesaran, padahal target emak sepatuku masih layak hingga aku kelas 3 SMP dan aku sekarang masih  6 SD. Itu berarti aku akan terus memakainya 3 tahun bersama sepatu yang bagi kalian sudah saatnya diungsikan bersama barang rongsokan. Aku harus berjalan 17 Km dari rumah untuk sampai kesekolah. Kudatangi tiap-tiap pintu untuk mengajak teman-teman sekitarku sekolah. Meski cacian dan makian sering terdengar dari orang tua mereka yang masih berfikiran awam. Aku tak pernah jera. Karena Aku tak mau sukses sendirian.
            Suatu kali emak pernah menasehatiku. “Apa kamu tidak capek untuk sekolah? Sukses mu jauh. Bahkan jika kamu sebutir mutiara. Kau sangat  jauh terpendam didasar lumpur. Sulit sekali orang menemukanmu.” Katanya, air matanya menggantung diujung pelipis mata . “ biarlah mak.. biar mereka tahu bahwa mutiara tidak hanya ditoko-toko berkaca. Yang hanya disenangi tangan-tangan halus. Mereka harus tau lumpur yang kotor pun bisa menghasilkan mutiara yang tak kalah eloknya. Doakan saja anakmu Mak.” Aku menggeliat ditubuhnya yang gempal, Dingin masuk melalui rongga-rongga bilah bambu ruang tamu. Lampu sentir sayu-sayu mengikuti alunan angin. emak masih mengusap-usap kerudungku. “tanpa kau suruh, ibu selalu mendoakanmu” katanya lirih. Hatiku sesak seketika.
            “Alen....!!” suara Bapak mengundang perhatian semua orang, ia lari menjinjit-jinjit pematang sawah. “Ada apa Pak??!” balasku tak kalah kerasnya, melihatnya yang begitu terburu-buru menemuiku. “Kau tak sekolah hari ini? Sudah, biar Bapak saja yang melanjutkan.” Bapak menyambar bibit padi di genggamanku. Orang-orang sekitar mulai grusak-grusuk menceritakan kehebohan yang bapak ciptakan. Bapak memang terlahir dari orang yang tidak berpendidikan, namun semangatnya tinggi untuk menyekolahkan anak-anaknya. Bermula dari mendengar cerita orang-orang, bahwa temannya yang dahulu selalu mengajaknya sekolah, kini telah menjadi orang hebat di kota, bahkan ia tidak sudi lagi mengijakkan kampung halamannya ini. “ini hari minggu Pak. Libur, disekolah pun tidak ada guru.” Aku kembali memperbaiki posisi bibit yang miring. “Ohhh,,, Bapak tidak tahu lah Alen, biasanya habis subuh kau bilang kalau libur, tadi tumben sekali kau langsung kesawah.” Katanya tanpa sedikitpun menatapku. Jangkrik dan kodok sahut menyahut mengisi irama sawah pukul 6. “Iyalah Bapak... minggu depan Alen harus melunasi uang buku. Biar bisa ikut Ujian Nasional.” Menatap Bapak sebentar yang tiba-tiba menghentikan pekerjaannya. “berapa uang yang kau perlukan Alen?” tanyanya berhati-hati. “ dua ratus ribu rupiah Bapak”. Hening. Hanya suara jangkrik dan kodok yang melanjutkan pembicaraan kami.
            Perjuangan Alen tidak sia-sia mendatangi tiap pintu untuk mencari teman suksesnya. Ia memiliki tiga teman dekat untuk diajak berfikir maju. Mereka adalah Ombus, Dayat dan Weni. Namun Weni ketika kami sudah kelas 5 SD ia dipaksa bekerja dikota oleh orang tuanya. Jadilah kutukan sumpah serapah keluar dari mulut sang ibunda. “ sekolah capek-capek kok gitu-gitu aja. Ngabisin waktu. Kalau kamu kerja udah bisa bikin rumah nduk.” Aku, Ombus dan Dayat yang ketika itu mengendap-endap di belakang kandang kambing Weni. Menyaksikan langsung sahabat karibnya menangis parau dipojok kamarnya. Bagaimana tidak,, perjuangan 5 tahun sama-sama, dan tinggal selangkah lagi ia harus berhenti sekolah. Setelah Weni, menyusul Ombus. Saat ku temui ia duduk dibawah pohon kenari, memilin-milin daun rotan sambil melamun. “ Ombus,, kenapa kau? Kabur dari rumah? Atau ketahuan nyuri tomat diladang pak Lang?” Aku meringis sebal karena Ombus cuek bebek mendengar bayolanku. “kau kenapa sih Ombus? Marah sama aku?” aku mulai kesal dengannya yang tidak berkutik sedikitpun. “Bapakku Alen...” katanya menggantung “Bapakku pergi ke kota untuk bekerja. Dan aku harus mengurus adik-adikku yang masih kecil.” Mata Ombus mulai berkaca-kaca. “Biarlah Alen aku berhenti sampai disini” ia memberi jeda dan langsung aku potong “Ombus apakah tidak ada cara lain?” aku mencoba menenangkannya “ Biarlah Alen! Biar perjalananku disambung oleh adik-adikku.” Kini air matanya sudah seperti air bah yang tidak dapat ditahan lagi.  Wajar saja Ombus sangat terpukul ketika bapaknya meninggalkannya bersama 3 orang adiknya yang masih kecil-kecil. Ibunya yang baru saja meninggal membuat bapaknya sedikit frustasi. Ombus adalah anak tertua dan dia tidak bisa meninggalkan adik-adiknya sendirian dirumah.
            Awan hitam dari timur bergerak cepat kebarat, para petani sibuk memunguti peralatan tani. Berlari-lari kecil di pematang sawah sembari mencincing sarung dan cangkul. Sesekali berteriak pada teman yang masih asik menanam padi, dibalas sahutan yang tidak kalah akrabnya. Di kaki gunung terlihat berbaris-baris petani berlari kearah jalan yang terlihat lebih tinggi. sesekali ibu-ibu berteriak ketika ada becak lembu melintas didepan mereka, menyerobot bagian tempat yang masih lapang. Demi menyelamatkan diri dari lelahnya berjalan kaki. Anak-anak kecil yang dibawa orang tuanya pun turut berlari-lari berdesakan.
Jalan kerumah lumayan jauh. Jika begini Bagaimanalah pula masyarakatnya bisa saling todong menodong, maki memaki . Semuanya terjalin seperti ikatan saudara meski tidak ada ikatan darah. Senang sama senang sedih sama sedih. Begitulah seterusnya membuat mereka tidak ingin keluar dari pusaran miskin yang kerap diderita ketika musim hujan telah tiba.
Tuhan menyirami seisi bumi dengan air hujan yang Dia berikan, hujan adalah nikmat Tuhan, lantas mengapa aku harus menghindarinya? Bukankah kita harus mensyukurinya? Aku berjalan lunglai sambil memikul bakul bekas nasi bekal kami. tangan Bapak menjawil-jawil, sambil berlari. Namun aku hanya tersenyum melihatnya yang kerepotan membawa cangkul. Kala hujan begini kami tidak memilih berteduh, karena daerah desaku memang memiliki curah hujan yang tinggi, jika kami berteduh, bisa saja kami bermalam dihutan, bertemankan jangkrik dan ular.
Aku bertanya pada hujan, dalam rangka apa ia turun? Hati siapakah yang ingin ia bahagiakan? Rindu siapakah yang ingin ia sampaikan? Atau memang ia turun untuk menciptakan harapan-harapan baru bagi hati yang telah terkecewakan? Bagaimanalah hujan bisa membuat manusia sakit, jika didalam maknanya iya selalu menghibur hati jiwa-jiwa yang kesepian. Menciptakan melodi-melodi indah dari gemricik dahan-dahan dan genting-genting rumah. Maka kali ini aku menyerahkan diriku pada hujan. Membiarkannya menerima apa yang hendak Tuhan sampaikan, melalui air-air yang berjatuhan. Barangkali, ada rencana-Nya yang selalu aku hadang dengan angan-angan palsu yang kerap aku paksa pada-Nya. Untuk selalu mengabulkan-Nya. Dan Aku pasrah dihadapan-Nya.
Jejak-jejak kaki yang ku tinggalkan semakin menjauhi persawahan. Dahan-dahan pohon tanjung menjuntai-juntai, hujan semakin deras. Jilbabku berkibar-kibar tak menentu. Air hangat mengaliri lembah-lembah pipiku. Air mataku melebur bersama air hujan, tangisku dan petir sahut menyahut. Beginilah caraku berdialog dengan-Nya. Tanpa kata-kata. Tanpa rengekan manja, tanpa do’a-do’a sebagai pembukanya. Mungkin, hatiku sudah muak dengan semuanya, dengan kelemahanku, kecengenganku selama ini dan ketidak berdayaanku membantu teman-teman yang sedang dimasa-masa sulitnya. Atau ini adalah bentuk demonstrasi hatiku dengan ketidak adilan hidup selama ini?. Tidak, emak dan ibu guru tidak pernah mengajarkan ku untuk bersu’udzon pada Tuhan. Lagi-lagi tangisku mengaung seisi hutan. Di kolong langit, terlihat anak manusia tersorok ketanah, kakinya lemah tidak mampu menopang tubuhnya yang mungil. Itukah aku?
Sakit rasanya ketika menatap langit, semua menggambarkan wajah Weni dan Ombus. Weni yang manis selalu menjadi penengah ketika aku dan Dayat berselisih paham. Orang yang paling lihai dalam urusan masak-memasak, anak dengan cita-cita tinggi menjadi koki dan penulis terkenal. Anak yang tidak banyak berkomentar dengan kekurangan teman-teman. Malaikat berbentuk manusia yang tuhan hadirkan ditengah-tengah kami.
Disamping Weni, ada tawa Ombus. Anak dengan tubuh paling kekar dibanding kami ber empat. Banyak yang tertipu dengan wajah sangarnya, Ombus pintar menciptakan ketegangan suasana. Bahkan aku selalu rindu jika satu hari saja ia tidak masuk sekolah karena harus bekerja membantu bapaknya diladang Pak Lang ayah Dayat. Cita-citanya sangat luar biasa, hal yang tidak pernah terfikirkan oleh kebanyakan anak sebaya kami. Menjadi Menteri Pendidikan. Agar tidak ada lagi anak-anak yang terbengkalai pendidikannya. Ombus salah satu idolaku. Apalagi ketika ia berdiri didepan kelas untuk mengobarkan semangat sekolah pada kami. Namun, kenyataan tidak berpihak padanya. Ia harus putus sekolah ketika perjalanan panjang berduri telah melukai raga dan jiwanya. Dan aku yang mengaku mengidolakannya. Berdiam diri menonton pahitnya hidup yang mereka jalani. Sebagai penonton diantara cerita hidup orang lain itu sangat menyakitkan, namun aku juga tidak mungkin sanggup ketika harus menjadi pemainnya, terlebih peran utamanya. Sungguh itu menyakitkan sekali.
            Asap kayu mengepul memenuhi dapur. Wajan dan sutil beradu membuat irama yang khas, demi menghasilkan masakan lezat ala Emak. Wanita paruh baya dihadapanku meniup-niup cerobong yang terbuat dari bambu. Warnanya sudah tidak hijau lagi, lebih kehitam-hitaman menandakan usianya yang sudah tua menyerupai usia wanita paruh baya tersebut. aku memeluknya dari belakang, bahunya yang kokoh menceritakan sudah banyak beban berat yang ia pikul, mungkin karena itupula berada dibahunya terasa nyaman sekali.
            “mmmm ada apa ini...? pasti ada maunya” kulepaskan pelukkanku, mengambil tempat berjongkok disisinya.
            “enggak... Alen Cuma mau bilang Sayang sama Emak” kataku membenahi kayu-kayu dikolong tungku api.
            “mosokkk..” katanya menggoda. “iyooo lo mak ku sayang..” Emak menenteng dandang kepayahan.
            “emak...” aku berbisik, emak bergeming. Jangkrik dan kodok mengisi jeda panjang diantara kami. “mak,,, cita-cita emak apa?” aku melanjutkan
            “lah?? Wong tue’ kok ditekon cita-cita ne to nduk?” emak tersenyum parau.
            “yo pas emak cilik, cita-cita ne opo?” aku membalas dengan guyonan.
            Emak tertawa lepas, seperti baru saja mendengar cerita lucu, atau melihat hal yang aneh. “cita-cita emak, Cuma 1” Emak menggantung kata-katanya, aku menunggu. “bisa makan hari ini.” Aku tertegun mendengar penuturan wanita berbaju kaus yang sudah lusuh itu.
            “itu bukan cita-cita Mak” aku beranjak kearah meja untuk membereskan piring-piring.
            “Orang dulu itu enggak muluk-muluk nduk. Bisa makan hari ini aja udah syukur alhamdulillah, enggak ada mikir tentang sekolah tinggi-tinggi, yang penting kerja dapet duit.”
            “emak dulu sekolah?” kataku sejurus kemudian
            “boro-boro sekolah nduk, sekolahmu yang satu-satunya dipuncak bukit itu dibangun baru 10 tahun yang lalu, pemerintah mencanangkan mahasiswa dari Universitas seluruh Indonesia dikirim untuk mengajar kita yang tertinggal pola fikirnya.” Emak memberi jeda.
            “dulu pas mamak masih muda, emak sering sekali kepuncak bukit untuk melihat mahasiswa-mahasiswa yang cantik-cantik dan ganteng-ganteng, emak sering sekali mengintip dari balik pohon Bringin di sebrang kantor Guru tempat mereka berkumpul dan mengajar anak-anak. Hanya melihat saja, kemudian emak pulang dengan hati bahagia luar biasa. Terus-menerus emak lakukan tanpa bosan.” Ia tersenyum mendapati betapa bodohnya ia melakukan itu.
            “jangan-jangan sebelum sama bapak, emak naksir sama guru-guru disana ya?” aku menggoda emak. Emak mengelak, namun pipinya yang kemerah-merahan tidak bisa membohongi perasaannya. Tawaku meledak, menggema diruang dapur yang sempit, mengundang kecurigaan pada bapak yang sedari tadi duduk diruang tamu.
            “lah dalah... ono opo to iki? Ngguyu kok ora kiro-kiro” Bapak menggelar tikar anyaman dari bilah bambu yang dibuat sendiri. Aku dan Emak hanya menahan tawa yang sempat membuat gaduh seisi rumah.
            Bercahayakan lampu sentir kami sekeluarga makan dengan lauk seadanya, namun beruntungnya aku, punya emak yang pintar menyulap apa saja menjadi makanan super lezat. Dirumah tidak terlalu ramai, karena belum ada tanda-tanda kedua malaikatku ini akan memberikanku teman. Atau mereka memang sengaja, supaya kasih sayang tidak pernah terbagi kesiapapun, hanya untuk ku saja. Aku menatap wajah keduanya bergantian. Wajah mereka tidak menyiratkan rasa lelah sedikitpun, malah karisma luar biasa yang tinggal disana, ingin sekali menetap sebagai penghuni syurga hati mereka, tidak ingin beranjak meski sesenti. Tetap dihati mereka.
            “sedih yo pak,, nanti kalau Alen udah SMP, pasti rumah kita sepi yo..” ibu membuka cerita, setelah sekian lama kami menyelesaikan makanan kami. Mataku dan mata ayah bertemu dimata Emak. “lah.. kok pada ngeliatinnya kayak gitu?”
            “memangnya Alen mau SMP dimana to mak?” Bapak menyeruput Tehnya.
            “Alennya minta SMP di kota pak” aku membantu emak memungut piring-piring kotor.
            “iya Nduk?” pertanyaan Bapak membuatku gamang. Bibirku keluh untuk mengatakan ia dan kepalaku berat untuk mengangguk.
            “sekolah itu dimana aja sama, sing penting orangnya, kalau niat cari ilmu itu dimana pun bisa, enggak perlu harus kekota.” Tegas Bapak membuat nyaliku menciut.
            “tapi sekolah di Kota itu kualitas jauh lebih baik pak” aku membela diri.
            “sekolahnya memang baik, tapi enggak menjamin anak yang keluar dari sana itu baik-baik.” Bapak mempertegas nada pada kata Baik-baik aku semakin meringkuk takut. Emak mendatangiku yang tertunduk dihadapan Bapak.
            “yaudah to pak, ngomongnya jangan marah-marah gitu. Kasian Alen.” Emak menenangkanku. Bulir-bulir air mataku menggantung dibulu mata, hatiku sesak, setiap kata yang nadanya ditekankan oleh Bapak, seperti bumerang.
            “bapak enggak ngelarang kamu mau sekolah sampai setinggi mana nduk, tapi kamu harus tau prioritas pendidikan itu. Yang mau kamu cari itu apa? Gaya-gayaan? Teman-teman bergengsi? Atau ilmu?” sontak kepalaku mendongak kearah bapak, aku hampir tidak percaya bahwa bapak berfikir sejauh itu tentangku. Airmata merembes mengaliri pipiku. Namun bibirku keluh, aku meninggalkan bapak dengan rasa bersalah, emak duduk ditepi ranjang papan kayu berlapis selimut dan kain panjang berwarna abu-abu kecoklatan dengan motiv bunga yang sudah tidak jelas gambarnya. Mengelus-elus rambutku yang tergerai sebahu.
            “maksud bapak itu baik nduk... bapak khawatir kalau nanti kamu sekolah dikota, siapa yang mau merawat kamu? yang memperhatikan kamu? kalau kamu sekolah disini, minimal kami bisa tahu kamu makan atau enggak hari itu.” Aku tidak menjawab, angan-anganku tetiba hancur seketika. “Alen,, kamu harus udah tau dari sekarang, bahwa tidak selamanya permata itu dihasilkan dari pabrik-pabrik keren. Ia juga bisa dihasilkan dari lumpur yang dalam kan?” emak kembali mengingatkan percakapan kami 2 hari yang lalu. “Alen.. nanti adik yang didalam perut ikut nangis loh..” aku menatap emak tidak percaya, meyakinkan bahwa telingaku tidak salah dengar. “kenapa liat mak kayak gitu? Gak mau peluk adiknya?” Emak membentangkan kedua tangannya, aku menubruk dengan senyum merekah bahagia. “eh.. eh.. pelan-pelan,, kasian adeknya” dengan reflex tubuhku menjauh darinya. Namun emak menarikku kembali kepelukkannya. Aku menciumi perut emak yang sudah tumbuh benih yang sama, tapi dalam wujud manusia yang berbeda. Ternyata mereka tidak lupa memberi tamu baru dikeluarga ini.

Bersambung....