AKU
ANAK DESA
Ada banyak hal didunia ini yang
tidak bisa kamu hitung melalui rumus Matematika, tidak bisa terbaca jelas
menggunakan EYD yang benar, tidak bisa dicampur adukkan dengan Kuasa Tuhanmu,
dan banyak hal Lain yang tidak bisa kamu terka-terka wujudnya. Rahasia. Aku
ingin memberi tahumu sedikit Rahasia, tentang diriku juga duniaku. Namaku Alen
tinggal didesa yang jauh sekali dari kata Korupsi, suap, dan hingar-bingar kota
yang katanya indah. Aku tidak pernah malu mengakui bahwa aku anak desa, bagiku
ini adalah suatu kebanggaan yang Luar biasa. Batang-batang pohon kelapa menjadi
saksi perjalanan panjang kami, jurang dengan kedalaman lebih kurang 15 m siap
menelan anak manusia yang dihatinya sudah hilang rasa takut. tak perlu
dibayangkan, aku belum menceritakan semuanya.
Selesai
Shalat shubuh berjamaah bersama Bapak dan emak, aku langsung memakai sepatuku
yang masih kebesaran, padahal target emak sepatuku masih layak hingga aku kelas
3 SMP dan aku sekarang masih 6 SD. Itu
berarti aku akan terus memakainya 3 tahun bersama sepatu yang bagi kalian sudah
saatnya diungsikan bersama barang rongsokan. Aku harus berjalan 17 Km dari
rumah untuk sampai kesekolah. Kudatangi tiap-tiap pintu untuk mengajak
teman-teman sekitarku sekolah. Meski cacian dan makian sering terdengar dari
orang tua mereka yang masih berfikiran awam. Aku tak pernah jera. Karena Aku
tak mau sukses sendirian.
Suatu kali emak pernah menasehatiku.
“Apa kamu tidak capek untuk sekolah? Sukses mu jauh. Bahkan jika kamu sebutir
mutiara. Kau sangat jauh terpendam
didasar lumpur. Sulit sekali orang menemukanmu.” Katanya, air matanya
menggantung diujung pelipis mata . “ biarlah mak.. biar mereka tahu bahwa
mutiara tidak hanya ditoko-toko berkaca. Yang hanya disenangi tangan-tangan
halus. Mereka harus tau lumpur yang kotor pun bisa menghasilkan mutiara yang
tak kalah eloknya. Doakan saja anakmu Mak.” Aku menggeliat ditubuhnya yang
gempal, Dingin masuk melalui rongga-rongga bilah bambu ruang tamu. Lampu sentir
sayu-sayu mengikuti alunan angin. emak masih mengusap-usap kerudungku. “tanpa
kau suruh, ibu selalu mendoakanmu” katanya lirih. Hatiku sesak seketika.
“Alen....!!” suara Bapak mengundang
perhatian semua orang, ia lari menjinjit-jinjit pematang sawah. “Ada apa Pak??!”
balasku tak kalah kerasnya, melihatnya yang begitu terburu-buru menemuiku. “Kau
tak sekolah hari ini? Sudah, biar Bapak saja yang melanjutkan.” Bapak menyambar
bibit padi di genggamanku. Orang-orang sekitar mulai grusak-grusuk menceritakan
kehebohan yang bapak ciptakan. Bapak memang terlahir dari orang yang tidak
berpendidikan, namun semangatnya tinggi untuk menyekolahkan anak-anaknya.
Bermula dari mendengar cerita orang-orang, bahwa temannya yang dahulu selalu
mengajaknya sekolah, kini telah menjadi orang hebat di kota, bahkan ia tidak
sudi lagi mengijakkan kampung halamannya ini. “ini hari minggu Pak. Libur, disekolah
pun tidak ada guru.” Aku kembali memperbaiki posisi bibit yang miring. “Ohhh,,,
Bapak tidak tahu lah Alen, biasanya habis subuh kau bilang kalau libur, tadi
tumben sekali kau langsung kesawah.” Katanya tanpa sedikitpun menatapku.
Jangkrik dan kodok sahut menyahut mengisi irama sawah pukul 6. “Iyalah Bapak...
minggu depan Alen harus melunasi uang buku. Biar bisa ikut Ujian Nasional.”
Menatap Bapak sebentar yang tiba-tiba menghentikan pekerjaannya. “berapa uang
yang kau perlukan Alen?” tanyanya berhati-hati. “ dua ratus ribu rupiah Bapak”.
Hening. Hanya suara jangkrik dan kodok yang melanjutkan pembicaraan kami.
Perjuangan Alen tidak sia-sia mendatangi
tiap pintu untuk mencari teman suksesnya. Ia memiliki tiga teman dekat untuk
diajak berfikir maju. Mereka adalah Ombus, Dayat dan Weni. Namun Weni ketika
kami sudah kelas 5 SD ia dipaksa bekerja dikota oleh orang tuanya. Jadilah
kutukan sumpah serapah keluar dari mulut sang ibunda. “ sekolah capek-capek kok
gitu-gitu aja. Ngabisin waktu. Kalau kamu kerja udah bisa bikin rumah nduk.”
Aku, Ombus dan Dayat yang ketika itu mengendap-endap di belakang kandang
kambing Weni. Menyaksikan langsung sahabat karibnya menangis parau dipojok
kamarnya. Bagaimana tidak,, perjuangan 5 tahun sama-sama, dan tinggal selangkah
lagi ia harus berhenti sekolah. Setelah Weni, menyusul Ombus. Saat ku temui ia
duduk dibawah pohon kenari, memilin-milin daun rotan sambil melamun. “ Ombus,,
kenapa kau? Kabur dari rumah? Atau ketahuan nyuri tomat diladang pak Lang?” Aku
meringis sebal karena Ombus cuek bebek mendengar bayolanku. “kau kenapa sih
Ombus? Marah sama aku?” aku mulai kesal dengannya yang tidak berkutik
sedikitpun. “Bapakku Alen...” katanya menggantung “Bapakku pergi ke kota untuk
bekerja. Dan aku harus mengurus adik-adikku yang masih kecil.” Mata Ombus mulai
berkaca-kaca. “Biarlah Alen aku berhenti sampai disini” ia memberi jeda dan
langsung aku potong “Ombus apakah tidak ada cara lain?” aku mencoba
menenangkannya “ Biarlah Alen! Biar perjalananku disambung oleh adik-adikku.”
Kini air matanya sudah seperti air bah yang tidak dapat ditahan lagi. Wajar saja Ombus sangat terpukul ketika
bapaknya meninggalkannya bersama 3 orang adiknya yang masih kecil-kecil. Ibunya
yang baru saja meninggal membuat bapaknya sedikit frustasi. Ombus adalah anak
tertua dan dia tidak bisa meninggalkan adik-adiknya sendirian dirumah.
Awan hitam dari timur bergerak cepat
kebarat, para petani sibuk memunguti peralatan tani. Berlari-lari kecil di
pematang sawah sembari mencincing sarung dan cangkul. Sesekali berteriak pada
teman yang masih asik menanam padi, dibalas sahutan yang tidak kalah akrabnya.
Di kaki gunung terlihat berbaris-baris petani berlari kearah jalan yang
terlihat lebih tinggi. sesekali ibu-ibu berteriak ketika ada becak lembu
melintas didepan mereka, menyerobot bagian tempat yang masih lapang. Demi
menyelamatkan diri dari lelahnya berjalan kaki. Anak-anak kecil yang dibawa
orang tuanya pun turut berlari-lari berdesakan.
Jalan
kerumah lumayan jauh. Jika begini Bagaimanalah pula masyarakatnya bisa saling
todong menodong, maki memaki . Semuanya terjalin seperti ikatan saudara meski
tidak ada ikatan darah. Senang sama senang sedih sama sedih. Begitulah
seterusnya membuat mereka tidak ingin keluar dari pusaran miskin yang kerap
diderita ketika musim hujan telah tiba.
Tuhan
menyirami seisi bumi dengan air hujan yang Dia berikan, hujan adalah nikmat Tuhan,
lantas mengapa aku harus menghindarinya? Bukankah kita harus mensyukurinya? Aku
berjalan lunglai sambil memikul bakul bekas nasi bekal kami. tangan Bapak
menjawil-jawil, sambil berlari. Namun aku hanya tersenyum melihatnya yang
kerepotan membawa cangkul. Kala hujan begini kami tidak memilih berteduh,
karena daerah desaku memang memiliki curah hujan yang tinggi, jika kami
berteduh, bisa saja kami bermalam dihutan, bertemankan jangkrik dan ular.
Aku
bertanya pada hujan, dalam rangka apa ia turun? Hati siapakah yang ingin ia
bahagiakan? Rindu siapakah yang ingin ia sampaikan? Atau memang ia turun untuk
menciptakan harapan-harapan baru bagi hati yang telah terkecewakan?
Bagaimanalah hujan bisa membuat manusia sakit, jika didalam maknanya iya selalu
menghibur hati jiwa-jiwa yang kesepian. Menciptakan melodi-melodi indah dari
gemricik dahan-dahan dan genting-genting rumah. Maka kali ini aku menyerahkan
diriku pada hujan. Membiarkannya menerima apa yang hendak Tuhan sampaikan,
melalui air-air yang berjatuhan. Barangkali, ada rencana-Nya yang selalu aku
hadang dengan angan-angan palsu yang kerap aku paksa pada-Nya. Untuk selalu
mengabulkan-Nya. Dan Aku pasrah dihadapan-Nya.
Jejak-jejak
kaki yang ku tinggalkan semakin menjauhi persawahan. Dahan-dahan pohon tanjung
menjuntai-juntai, hujan semakin deras. Jilbabku berkibar-kibar tak menentu. Air
hangat mengaliri lembah-lembah pipiku. Air mataku melebur bersama air hujan,
tangisku dan petir sahut menyahut. Beginilah caraku berdialog dengan-Nya. Tanpa
kata-kata. Tanpa rengekan manja, tanpa do’a-do’a sebagai pembukanya. Mungkin,
hatiku sudah muak dengan semuanya, dengan kelemahanku, kecengenganku selama ini
dan ketidak berdayaanku membantu teman-teman yang sedang dimasa-masa sulitnya.
Atau ini adalah bentuk demonstrasi hatiku dengan ketidak adilan hidup selama
ini?. Tidak, emak dan ibu guru tidak pernah mengajarkan ku untuk bersu’udzon
pada Tuhan. Lagi-lagi tangisku mengaung seisi hutan. Di kolong langit, terlihat
anak manusia tersorok ketanah, kakinya lemah tidak mampu menopang tubuhnya yang
mungil. Itukah aku?
Sakit
rasanya ketika menatap langit, semua menggambarkan wajah Weni dan Ombus. Weni
yang manis selalu menjadi penengah ketika aku dan Dayat berselisih paham. Orang
yang paling lihai dalam urusan masak-memasak, anak dengan cita-cita tinggi
menjadi koki dan penulis terkenal. Anak yang tidak banyak berkomentar dengan
kekurangan teman-teman. Malaikat berbentuk manusia yang tuhan hadirkan
ditengah-tengah kami.
Disamping
Weni, ada tawa Ombus. Anak dengan tubuh paling kekar dibanding kami ber empat.
Banyak yang tertipu dengan wajah sangarnya, Ombus pintar menciptakan ketegangan
suasana. Bahkan aku selalu rindu jika satu hari saja ia tidak masuk sekolah
karena harus bekerja membantu bapaknya diladang Pak Lang ayah Dayat.
Cita-citanya sangat luar biasa, hal yang tidak pernah terfikirkan oleh
kebanyakan anak sebaya kami. Menjadi Menteri Pendidikan. Agar tidak ada lagi
anak-anak yang terbengkalai pendidikannya. Ombus salah satu idolaku. Apalagi
ketika ia berdiri didepan kelas untuk mengobarkan semangat sekolah pada kami.
Namun, kenyataan tidak berpihak padanya. Ia harus putus sekolah ketika
perjalanan panjang berduri telah melukai raga dan jiwanya. Dan aku yang mengaku
mengidolakannya. Berdiam diri menonton pahitnya hidup yang mereka jalani.
Sebagai penonton diantara cerita hidup orang lain itu sangat menyakitkan, namun
aku juga tidak mungkin sanggup ketika harus menjadi pemainnya, terlebih peran
utamanya. Sungguh itu menyakitkan sekali.
Asap kayu mengepul memenuhi dapur. Wajan
dan sutil beradu membuat irama yang khas, demi menghasilkan masakan lezat ala
Emak. Wanita paruh baya dihadapanku meniup-niup cerobong yang terbuat dari
bambu. Warnanya sudah tidak hijau lagi, lebih kehitam-hitaman menandakan
usianya yang sudah tua menyerupai usia wanita paruh baya tersebut. aku
memeluknya dari belakang, bahunya yang kokoh menceritakan sudah banyak beban
berat yang ia pikul, mungkin karena itupula berada dibahunya terasa nyaman
sekali.
“mmmm ada apa ini...? pasti ada
maunya” kulepaskan pelukkanku, mengambil tempat berjongkok disisinya.
“enggak... Alen Cuma mau bilang
Sayang sama Emak” kataku membenahi kayu-kayu dikolong tungku api.
“mosokkk..” katanya menggoda. “iyooo
lo mak ku sayang..” Emak menenteng dandang kepayahan.
“emak...” aku berbisik, emak
bergeming. Jangkrik dan kodok mengisi jeda panjang diantara kami. “mak,,,
cita-cita emak apa?” aku melanjutkan
“lah?? Wong tue’ kok ditekon
cita-cita ne to nduk?” emak tersenyum parau.
“yo pas emak cilik, cita-cita ne
opo?” aku membalas dengan guyonan.
Emak tertawa lepas, seperti baru
saja mendengar cerita lucu, atau melihat hal yang aneh. “cita-cita emak, Cuma
1” Emak menggantung kata-katanya, aku menunggu. “bisa makan hari ini.” Aku
tertegun mendengar penuturan wanita berbaju kaus yang sudah lusuh itu.
“itu bukan cita-cita Mak” aku
beranjak kearah meja untuk membereskan piring-piring.
“Orang dulu itu enggak muluk-muluk
nduk. Bisa makan hari ini aja udah syukur alhamdulillah, enggak ada mikir
tentang sekolah tinggi-tinggi, yang penting kerja dapet duit.”
“emak dulu sekolah?” kataku sejurus
kemudian
“boro-boro sekolah nduk, sekolahmu
yang satu-satunya dipuncak bukit itu dibangun baru 10 tahun yang lalu,
pemerintah mencanangkan mahasiswa dari Universitas seluruh Indonesia dikirim
untuk mengajar kita yang tertinggal pola fikirnya.” Emak memberi jeda.
“dulu pas mamak masih muda, emak
sering sekali kepuncak bukit untuk melihat mahasiswa-mahasiswa yang
cantik-cantik dan ganteng-ganteng, emak sering sekali mengintip dari balik
pohon Bringin di sebrang kantor Guru tempat mereka berkumpul dan mengajar
anak-anak. Hanya melihat saja, kemudian emak pulang dengan hati bahagia luar
biasa. Terus-menerus emak lakukan tanpa bosan.” Ia tersenyum mendapati betapa
bodohnya ia melakukan itu.
“jangan-jangan sebelum sama bapak,
emak naksir sama guru-guru disana ya?” aku menggoda emak. Emak mengelak, namun
pipinya yang kemerah-merahan tidak bisa membohongi perasaannya. Tawaku meledak,
menggema diruang dapur yang sempit, mengundang kecurigaan pada bapak yang
sedari tadi duduk diruang tamu.
“lah dalah... ono opo to iki? Ngguyu
kok ora kiro-kiro” Bapak menggelar tikar anyaman dari bilah bambu yang dibuat
sendiri. Aku dan Emak hanya menahan tawa yang sempat membuat gaduh seisi rumah.
Bercahayakan lampu sentir kami
sekeluarga makan dengan lauk seadanya, namun beruntungnya aku, punya emak yang
pintar menyulap apa saja menjadi makanan super lezat. Dirumah tidak terlalu
ramai, karena belum ada tanda-tanda kedua malaikatku ini akan memberikanku
teman. Atau mereka memang sengaja, supaya kasih sayang tidak pernah terbagi
kesiapapun, hanya untuk ku saja. Aku menatap wajah keduanya bergantian. Wajah
mereka tidak menyiratkan rasa lelah sedikitpun, malah karisma luar biasa yang
tinggal disana, ingin sekali menetap sebagai penghuni syurga hati mereka, tidak
ingin beranjak meski sesenti. Tetap dihati mereka.
“sedih yo pak,, nanti kalau Alen
udah SMP, pasti rumah kita sepi yo..” ibu membuka cerita, setelah sekian lama
kami menyelesaikan makanan kami. Mataku dan mata ayah bertemu dimata Emak. “lah..
kok pada ngeliatinnya kayak gitu?”
“memangnya Alen mau SMP dimana to
mak?” Bapak menyeruput Tehnya.
“Alennya minta SMP di kota pak” aku
membantu emak memungut piring-piring kotor.
“iya Nduk?” pertanyaan Bapak
membuatku gamang. Bibirku keluh untuk mengatakan ia dan kepalaku berat untuk
mengangguk.
“sekolah itu dimana aja sama, sing
penting orangnya, kalau niat cari ilmu itu dimana pun bisa, enggak perlu harus
kekota.” Tegas Bapak membuat nyaliku menciut.
“tapi sekolah di Kota itu kualitas
jauh lebih baik pak” aku membela diri.
“sekolahnya memang baik, tapi enggak
menjamin anak yang keluar dari sana itu baik-baik.” Bapak mempertegas nada pada
kata Baik-baik aku semakin meringkuk
takut. Emak mendatangiku yang tertunduk dihadapan Bapak.
“yaudah to pak, ngomongnya jangan
marah-marah gitu. Kasian Alen.” Emak menenangkanku. Bulir-bulir air mataku
menggantung dibulu mata, hatiku sesak, setiap kata yang nadanya ditekankan oleh
Bapak, seperti bumerang.
“bapak enggak ngelarang kamu mau
sekolah sampai setinggi mana nduk, tapi kamu harus tau prioritas pendidikan
itu. Yang mau kamu cari itu apa? Gaya-gayaan? Teman-teman bergengsi? Atau
ilmu?” sontak kepalaku mendongak kearah bapak, aku hampir tidak percaya bahwa bapak
berfikir sejauh itu tentangku. Airmata merembes mengaliri pipiku. Namun bibirku
keluh, aku meninggalkan bapak dengan rasa bersalah, emak duduk ditepi ranjang
papan kayu berlapis selimut dan kain panjang berwarna abu-abu kecoklatan dengan
motiv bunga yang sudah tidak jelas gambarnya. Mengelus-elus rambutku yang
tergerai sebahu.
“maksud bapak itu baik nduk... bapak
khawatir kalau nanti kamu sekolah dikota, siapa yang mau merawat kamu? yang
memperhatikan kamu? kalau kamu sekolah disini, minimal kami bisa tahu kamu
makan atau enggak hari itu.” Aku tidak menjawab, angan-anganku tetiba hancur
seketika. “Alen,, kamu harus udah tau dari sekarang, bahwa tidak selamanya
permata itu dihasilkan dari pabrik-pabrik keren. Ia juga bisa dihasilkan dari
lumpur yang dalam kan?” emak kembali mengingatkan percakapan kami 2 hari yang
lalu. “Alen.. nanti adik yang didalam perut ikut nangis loh..” aku menatap emak
tidak percaya, meyakinkan bahwa telingaku tidak salah dengar. “kenapa liat mak
kayak gitu? Gak mau peluk adiknya?” Emak membentangkan kedua tangannya, aku
menubruk dengan senyum merekah bahagia. “eh.. eh.. pelan-pelan,, kasian
adeknya” dengan reflex tubuhku menjauh darinya. Namun emak menarikku kembali
kepelukkannya. Aku menciumi perut emak yang sudah tumbuh benih yang sama, tapi
dalam wujud manusia yang berbeda. Ternyata mereka tidak lupa memberi tamu baru
dikeluarga ini.
Bersambung....