Jumat, 11 September 2015

Hidayah Cinta By: Irmayani



       
   
  Tap... tap... tap... hentakan kaki yang terdengar dari lorong gelap itu, membuat bulu kuduk ku berdiri tiba-tiba. Ada orang sedang mengikuti ku, begitu bisik hatiku ketakutan,. kaki ini melangkah lebih cepat seperti menghindar dari bahaya. Berjalan sambil mata tetap mengawasi. Angin sepoy-sepoy bukanlah hal yang aku sukai untuk saat ini. Fikiran-fikiran negativ hilir mudik melintas isi kepalaku. “Jduk Aw..!” perlahan kubuka mata, mengamati sesuatu yang menubruk kepalaku.
            “Tak... banun!” didepanku telah ada bocah mungil Nana, wajahnya tetap tidak menyeramkan meski bedaknya tidak rata. Mata lecinya bergerak-gerak menatapku. Tangannya memegang dodot yang sudah kosong. Ini kebiasaan Nana saat membangunkanku, memukul dengan dodotnya yang sudah kosong. Aku bangkit dan mulai menciuminya gemes.
            “buatin cucu..” menyodorkan dodotnya dengan iba. Anak berusia 2 tahun ini memang bijak. Diusianya yang baru berusia 2 tahun dia sudah pandai berjalan. Badannya yang gempal, rambut lurus kemerah-merahan, menambah imutnya bocah didepanku ini. Membuat siapa saja ingin menciuminya. Sayang.
            “Jduk..” dodot Nana mendarat dikepalaku tiba-tiba. Dan tangisan histeris pun keluar dari kamarku. Suara Mama dari dapur menambah keributan seisi rumah. “Kak... diapain Nananya??” . “huaaaaa Tatak ja’at.” Nana merosot dari pangkuanku dan ngeloyor kedapur dimana ada Mama disana. Dan lagi-lagi yang seharusnya aku jadi korban, malah jadi tersangka dibuatnya. “uhhh cup-cup-cup sayangg anak mama” seperti biasa Mama selalu bisa meredakan tangis bocah kecil itu. “kak... buatin susu nih adiknya...” Niat untuk melanjutkan mimpi pun harus kuurungkan, dengan malas ku hampiri seorang ibu dan anak digendongannya. “kiss dulu donk” goda ku. Dengan ragu Nana menciumku singkat. Entahlah ciuman Nana selalu membuat orang – orang disekitarnya bahagia. Semua karena Nana.
            “Mah, nanti kakak mau ada acara sama temen-temen, boleh pergi ya?”. Aku teringat minggu lalu Wita dan Ica mengajakku ke Pantai. “Mau kemana lagi sih kak?? Libur sekali-kali aja udah buat janji terus sama temennya.”. “tapi kakak udah janji Ma, entar malem kan kakak dirumah.”. kilahku agar dapat izin dari Mama, bagiku 7 hari dalam seminggu harus dirubah. Karena terlalu sulit membaginya.belajar-keluarga-Nongkrong-Shoping-Jalan-Jalan. “Malam, kamu pasti kecapean trus tidur lo kak, Mamah udah hafal kebiasaan kamu.”. “uhhhhh Mama ku sayang,  iya deh iya minggu depan deh kita habiskan waktu sama-sama yah,muah” ciumanku mendarat ke pipi Mama.
            “Muah” Nana ikut nimbrung mencium pipi Mama sebelah kiri. Dan kami berpelukan ala Teletubis. Pipiku Basah. Mama menangis.Nana Menangis. Aku Diam dan memeluk mereka lebih erat lagi. Jadilah Pagi itu, pagi paling mellow yang pernah ada.
            Tenong... tenong... tenong... “assalamualaikum Bidadari-bidadariku.” Suara Papa membuat Nana turun dari pelukan kami.. “komcalam Papah” dengan cepat Nana sudah mendarat dipunggung Papa. “Pah.. tadi Mama nais” kebiasaan Nana mengadu tragedi yang ia lihat, atau kesimpulannya Nana punya cita-cita menjadi reporter. “Nangis?? Siapa yang ja’atin Mama?”. “Tatak..” Nana main nuduh tanpa pamit, untung usianya masih dilindungi Undang-Undang dengan catatan pencemaran nama baik. Ah, Nana selalu membuatku jadi tersangka dirumah ini. “kok ja’at ya kakak ya..diapa’in emang Mama sama kakak?” Papah terus menggoda ku, dia semakin senang kalau wajahku cemberut begini. “ditium”. “hahaha Dicium? Gimana ciumnya?”. Nana mencium Papah.mereka tertawa. Dan memang Ciuman Nana membuat orang disekitarnya bahagia.
            Tit... Tit... satu pesan masuk dari Wati “ nanti ketemuannya di rumah Ica Din. Jam 10” kulirik jam didinding. Aku meloncat dari tempat duduk, sadar kalau jarum jam udah nunjuk ke angka 9 dan 6. Tentu saja membuat Papah dan Nana terbengong melihat tingkahku. Tidak perlu waktu lama aku sudah rapih dan wangi keluar dari kamar. “Itut.. Tak Itut...” Nana menariki bajuku. “Nana mau dibeli’in apah?” aku jongkok tepat dihadapannya. “cocis” sahutnya cepat. “Okeh, nanti kakak beli’in, tapi Nana dirumah ya, sama Mama nanti kalau Papa ja’atin Mama bilang sama kakak ya?” Nana hanya mengangguk mengerti. “Pah,Mah, Dinda pergi ya?” aku mencium punggung tangan Papa kemudian mendarat kepunggung Mama. “Tunggu sebentar kak, ada yang mau Mama kasih kekamu.” Mama kembali membawa Pashmina coklat. Daridahulu memang Mama selalu memaksaku untuk berhijab, namun aku selalu menolak dengan alasan belum siap. Dan shalatku yang masih bolong-bolong padahal usia sudah mau kepala 2. Tidak mau berhijab malah membuatku menjadi manusia Munafik. “Masya Allah cantiknya anak Papah” puji Papa yang jarang sekali aku dengar. Mereka terlihat sangat bahagia melihatku memakainya. Aku tersenyum, kemudian pamit. “Tium...” tidak biasanya Nana menawarkan ciumannya untukku. Ah, Hijab ternyata tidak terlalu buruk. “jangan dibuka Hijabnya ya nak.” Pesan Ibu. Mereka melambaikan tangannya mengikuti langkah ku yang semakin jauh.
            Sesampai Dirumah Ica, Mereka sudah siap-siap akan pergi. “Din, Dion Katanya mau kesini.” Dion adalah mantanku semasa SMA. Aku teramat mencintainya dulu namun dia malah selingkuh bersama wanita yang hobinya bawa bedak kesekolah. Tapi isunya mereka udah putus karena Dion merasa dimanfa’atin. Ah, aku sudah tidak perduli. Tapi kenapa sekarang malah dia mau ikut kami jalan? “Dion sama Pacarnya Ica Din, entar aku juga sama pacarku. Hahaha daripada kamu jomblo sendirian gada boncengan, jadi kami menyewa jasa Dion” seperti biasa jomblo menjadi bulanan mereka-mereka yang sudah punya pasangan. “emang Dion mau?” mereka tidak perlu menjawab karena orang yang disebut sebut sudah tiba dihadapan mereka. Aku kikuk melihat Dion yang sudah banyak perubahan. Dia semakin tampan. Stylist. Dia tersenyum.
            Aku kekamar mandi untuk memperhatikan dandananku, dari ujung rambut sampai ujung kaki. Mengubah-ubah bentuk hijab yang dipakaikan Mama untukku. Menjadikannya sal mungkin akan menambah stylist ku. Dion memang selalu membuat hatiku bergetar setiap melihat senyumannya. Hatiku pun tidak pernah diam menanyakan apa dia masih ada rasa yang sama padaku saat ini. “Din... Ayo” suara Wati memaksaku keluar kamar mandi.
            “kita motong jalan ya, di simpang ada Polisi.” Kata cowok didepan Ica. “aku ga tau jalan, jadi kami ngikut aja deh ya.” Lagi- lagi ia melirikku. Ah, hatiku tolong bersabarlah. “ahemmm asal jangan jadi CLBK aja dagh” goda mereka. Aku tersenyum simpul.
            “Kamu semakin cantik aja Din” dipertengahan jalan Dion  membuka perbincangan diantara kami. “kamu juga” balasku spontan. “ahahaha masak aku cantik sih?”, “keren maksudku,” ralatku. Aku memang selalu tampak bertingkah bodoh dihadapannya. Tapi tak mengapa, karena aku selalu bahagia membuatnya tertawa seperti sekarang. Angin sepoy-sepoy menambah keindahan hari ini, seperti seorang kekasih sedang berkencan. Sayang, kami bukan lagi sepasang kekasih. Andai waktu mau membuat keajaiban, semua keindahan dapat diulang kapanpun.
            Angin semakin kencang, Pashmina yang kubuat shal mencekik leherku, aku membuka dan meletakkannya didalam tas, namun Angin membawanya lepas dari tanganku. Spontan tanganku meraihnya, namun.”Tinnnnnnnn Bragh.” Tanganku tersambar truk yang melaju kencang. Hening. Aku pingsan.
            Kubuka perlahan mata ini, kepalaku masih terasa pusing. Terdengar ayat-ayat suci dilantunkan oleh Papah, dan isak tangis yang tidak asing kudengar. Yah, itu suara Mamah. “Mah.” Cuman itu yang bisa aku ucapkan, tubuhku tidak bisa digerakkan. “Dinda anakku, Pah Dinda sudah sadar Pah.” Papa langsung berhenti mengaji, dengan sigap menghampiri ku kemudian keluar, tak lama ia kembali bersama dokter dan seorang suster. Kemudian entah apa yang ditempelkan ditubuhku. Dokter bisa berkesimpulan, ini kuasa dari Allah. Tersenyum. Kemudian meninggalkan kami. Tangan kiriku terasa kebas dan ringan. Aku menangis. Tanganku hilang. “Mah.. tangan kiriku mana?”. Mamah memelukku sambil menangis sesenggukan. Air matanya tidak menetes. Yah, mungkin sudah habis karena sudah banyak air mata dikeluarkannya untukku. “sabar yah sayang..” bisiknya.
            Aku tidak siuman selama 1 minggu, wajar saja jika mereka mengatakan ini adalah suatu kuasa Allah. Kini hari-hariku bersama 1 tangan akan dimulai, kehadiran orang-orang yang sangat menyayangiku membuatku ingin terus hidup. Dan mulai saat itu suatu perubahan besar dalam hidupku dimulai. Hijab yang dahulu ku buka dari orang yang menyayangiku untuk orang yang tidak menyayangiku. Kini aku berjanji untuk memakinya setiap hari, tentunya untuk orang yang menyayangiku dan Yang Maha Penyayang. Mamah dengan sabar memakaikannya untukku, dan aku lebih banyak menghabiskan waktu dirumah untuk Mamah, bukan karena aku malu dengan keadaanku sekarang, namun aku ingin lebih banyak melihat senyuman mamah. Dan kurasa waktu dalam 1 minggu sudah bisa aku atur. Belajar- Keluarga-mengajar mengaji.
            2 bulan kemudian aku bertemu dengan Wita dan Ica, aku tersenyum. Namun mereka malah mencibir dan bergidik geli melihatku. Mataku hanya mengikuti kepergian mereka. Hatiku menangis, takut jika semua orang bersikap seperti mereka terhadapku. Kembali ku enyahkan fikiran negatif ku. Dengan gontai aku berjalan ke Perpustakaan. Membaca adalah caraku menghibur diri.
            5 tahun kemudian aku sudah menyandang Title S2. Dan bekerja sebagai Dosen, Tidak ada yang ingin kuraih lagi, semenjak Tangan kiri ku hilang tidak ada satupun lelaki yang ingin mendekatiku. Ah, mungkin belum jodoh, ku paksa hatiku untuk husnudzon pada-Nya. “Kak...” itu Suara Nana kecil. Dia semakin cantik. Betapa terkejut ya aku dia memakai hijabku yang sangat mirip diberi ibu padaku dulu. “kamu cantik sekali sayang, siapa yang pake’in?”. “Mamah..” dia tersenyum dan mendaratkan ciumannya kepipiku. “Mamah ngingetin aku bandel dulu ya.” Aku menangis dipelukan mamah yang tersenyum dibelakang Nana. “kok jadi kamu sekarang yang cengeng sih. Cupp cupp cupp” mamah mengelus jilbabku. Entah mengapa air mata ku selalu mengalir ketika mengingat saat itu. “Nana mau jadi kayak kak Dinda, Cantik. Kayak bidadari surga.” Nana berputar putar memainkan gaunnya . “hihihihi muah muah muah” aku menciuminya gemes. “mah, Papah lagi ada tamu ya?” kataku mendengar Papah sedang cekikikan diruang tamu. “iyah, kamu dandan gih.” Kata mama tersenyum. “entar langsung keruang tamu yah sayang, Mamah menunggumu. Ayuk Na,”.
            Dag dig Dug.. hatiku semakin berdebar ketika tahu siapa tamu Papah. itu Dion. Aku masih kenal betul siapa pria dan wanita disampingnya. Keluarga Dion datang kerumah ku. Ada apa ini? Fikiranku masih tidak bisa sejalan dengan hatiku. Aku duduk disisi Mamah, dan perbincangan tentang ta’ruf pun dimulai. Hatiku bergetar, sedikit aku lirik Dion dihadapanku, dia lebih dewasa, wajahnya bersahaja, dia memakai kokoh putih. Lebih tenang. Dug... hatiku terhempas ketika Papa menanyakan “apa aku siap berta’aruf dengan Dion” . bibirku keluh, hanya mengangguk. Keluarga Dion berseru hamdallah. Dion melirikku, kemudian tersenyum malu-malu.
            Ternyata Dion juga mendapat Hidayah sepertiku. Selepas kejadian itu, ia merubah kepribadian buruknya, fokus menuntut ilmu di salah satu Universitas Islam Swasta kemudian mendapat beasiswa ke kairo, dan balik langsung ingin meminang satu wanita yang menjadi bayang-bayangnya. Dinda Azahra. Wanita yang kini telah sah menjadi istrinya. Dan Cara Allah memang paling Seru.

Selamat Membaca

4 komentar: